Seketika aku berlari menuju tangga rumah, lupa akan pesan Bunda yang menyuruhku untuk menunggu dibawah. Aku yang telah enam belas tahun hidup dirumah ini sama sekali tidak mendapat kesulitan untuk mencapai tangga dan menaiki anak tangga yang berjumlah tujuh belas itu satu persatu. Sesampainya di atas, Bunda telah selesai menelepon, tapi aku masih bisa mendengar isakan itu, isakan tangis Bunda.
Tanpa aku tahu, kakiku menyandung sesuatu entah apa, akupun jatuh kelantai. Kudengar suara Bunda tergesa-gesa menghampiriku. “Cantik, kamu nggak pa-pa sayang? Kok kamu keatas?” Ujar Bunda membantuku berdiri.
“Bunda, bunda kenapa nangis?” Seruku cemas, menghiraukan pertanyaan Bunda. Tiba-tiba Bunda memelukku dan isakan itu terdengar lagi.
“Ayah… Ayah sama Kak Melisa kecelakaan sayang. Sekarang sedang dirumah sakit.”
“Astaghfirullah…” Hanya istighfar yang dapat keluar dari bibirku, seketika aku merasa pipiku basah oleh airmata.
“Kita harus kerumah sakit sekarang sayang. Kak Melisa kritis.”
“Ayah?” ujarku “Ayah gimana Bun? Ayah baik-baik aja kan?” Senyap, tak ada jawaban. Aku menggoyangkan bahuku, bertanya.
“Ayah… Ayak udah pergi sayang.” Suara Bunda terdengar lemah ditengah isakan tangisnya. Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Semuanya hilang dari pikiranku. Kosong. Hanya sakit yang terasa begitu menyiksa didada ini.
Aku dan Bunda segera berangkat menuju rumah sakit. Aku tak tahu apa saja yang terjadi setelah itu, semuanya terasa berjalan begitu cepat. Sementara aku masih terkurung dalam rasa sakit yang membuat pikiran dan hatiku terasa buta seperti mataku.
Tak terasa limabelas hari berlalu setelah kepergian Ayah. Kak Melisa juga masih dirawat dirumah sakit, kata Dokter masih belum ada perkembangan. Kini pagiku tak indah lagi. Ruang makan ini tak pernah sempurna lagi, tak ada yang menyambutku untuk sarapan pagi bersama. Pagiku kosong, dilubangi perihnya kehilangan.
Kini juga tak ada lagi jadwal belajar yang menyenangkan setelah sarapan. Setelah sarapan, Aku dan Bunda langsung pergi berangkat kerumah sakit untuk menjaga Kak Melisa. Inilah jadwalku mulai limabelas hari yang lalu. Dirumahsakitpun, aku hanya bisa duduk, menanti, menanti, dan menanti dengan harapan dan do’a. Hanya itu yang bisa kulakukan.
***
Pagi ini, seperti biasa, aku dan Bunda duduk dimeja makan untuk sarapan pagi. Pagi yang terasa begitu sepi. Aku tak tahu kapan aku akan terbiasa dengan keadaan ini. Disampingku, Bunda dengan sabar menyuapiku roti tawar. Sudah tiga hari aku tidak mau lagi makan roti coklat seperti biasanya. Roti coklatku terasa berbeda tanpa kehadiran Kak Melisa.
“Bunda…” Ujarku memecahkan keheningan.
“Iya, kenapa sayang?” Tanya Bunda lembut.
“Boleh nggak nanti malam aku keresital biola?” Tanyaku pelan.
“Ngapain kesana Cantik? Kak Melisa kan nggak ada disana.” Bunda balik bertanya.
Aku hanya diam, tak tau mesti jawab apa. Ingatanku kembali melayang ke waktu sehari sebelum kecelakaan itu terjadi. Malam itu dingin, aku tengah duduk diteras belakang, mendengarkan Kak Melisa menghasilkan nada-nada indah dari gesekan biolanya.
“Keren kak…” Ujarku saat Kak Melisa telah berhenti menggesek biolanya.
“Hahaa, pinter banget deh kamu kalo muji dek.” Kata Kak Melisa sambi mengacak-acak rambutku.
“Well, itu sih masih belum seberapa dek.”
“Ih, somboooong.” Candaku pura-pura sebal.
“Hahahaa. Ih beneran sayaaang. Lagu buat resital besok sih biasa aja. Nah, kalo resital dua minggu lagi baru deh yang spesial lagunya.”
“Emang kakak mau mainin lagu apa minggu depan?” Tanyaku penasaran.
“Ada deh, pokoknya kamu harus datang minggu besok.”
“Iya lagunya apa dulu?” Desakku.
“Sesuatu deh pokoknyaaa.”
“Iiiih, kakaaak…” Seruku pura-pura ngambek.
“ Hahaha, ntar kamu juga tau dek. Serius ya, pokoknya kamu harus janji datang keresital dua minggu lagi, apapun yang terjadi, kalo nggak, kakak marah nih.” Kata Kak Melisa sambil mencubit pipiku.
“Iya, iya kakaaak. Aduuuh, sakit tauuuuu…”
Serius ya, pokoknya kamu harus janji datang keresital dua minggu lagi apapun yang terjadi, kalo nggak, kakak marah nih. Kata-kata itu, masih jelas terngiang ditelingaku. Aku tak tau mesti bilang apa kebunda, aku tak tau mesti mulai dari mana, dan aku takut Bunda tidak mau ngizinin aku kesana.
“Ya udah… Ntar malam Bunda anterin kamu keresital, tapi Bunda nggak bisa nemenin kamu disana, nggak pa-pa?” Ucapan Bunda membuyarkan lamunanku.
“Iya Bunda, nggak papa, makasih Bundaa…” Ujarku sambil tersenyum senang.
“Iya sayaaang. Udah selesai kan makannya? Kita berangkat yuk?” Tangan Bunda terasa hangat dibahuku, membimbingku keluar rumah dan membantuku naik ke mobil.
Bersambung.. ;)


0 komentar:
Posting Komentar