Minggu, 15 Juli 2012

Eyes (Part 4)

Diposting oleh Nita di 06.02 2 komentar
“Ih, berisik banget ya disini Kak.” Kataku sesampainya ditempat acara resital. Tak ada respon dari Kak Dinda.
                “Helloooow, Kak Dinda, Kakak denger aku nggak sih?” Ujarku lebih keras sambil menggoyangkan bahuku yang dilingkari tangan Kak Dinda.
                “Hah? Kenapa Cantik?” Tanya Kak Dinda.
                “Nggak ada. Udah dimana kita Kak? Kok bising gini sih?” Aku balik bertanya.
                “Kita masih diluar Cantik, kita harus antri dulu buat masuk.” Aku hanya mengangguk, suara Kak Dinda tak begitu jelas terdengar, tenggelam oleh kebisingan tempat ini. Aku juga lebih memilih diam, berjalan pelan-pelan dituntun Kak Dinda.
                “Wah, akhirnya duduk juga.” Ujarku lega sesampainya ditempat dudukku.
                “Eh, Kakak ketoilet bentar ya. Lo duduk disini aja, jangan kemana-mana.”  Aku tak sempat menjawab perkataan Kak Dinda, tangan hangatnya sudah terlebih dulu menghilang dari bahuku. Aku tidak terlalu suka sendirian ditempat asing seperti ini, menakutkan. Aku jarang sekali dilepas Bunda sendirian dimanapun, Bunda khawatir  terjadi hal-hal yang nggak diinginkan padaku. Selama ini, Bunda pasti selalu mendampingiku kemanapun aku pergi, kalaupun Bunda ada urusan lain yang tidak bisa ditinggalkan, Bunda pasti akan meminta kakak, ayah, atau orang lain yang bisa dipercaya untuk mengawasiku.
                Tiba-tiba musik  pembukaan resital dimainkan, diiringi tepuk tangan yang membahana. Kak Dinda kemana? Kok lama banget? Padahal acaranya udah mulai. Pikirku  cemas sambil menggoyang-goyangkan kakiku, kebiasaan burukku kalau merasa tidak nyaman.  Aku bahkan  tak bisa menikmati musik yang terus mengalun merdu, aku takut ditinggal sendirian disini.
                “Lo kenapa sih? Risih banget?” Tiba-tiba kudengar suara berat menegurku dari sampingku, reflek aku menoleh, walau sudah pasti aku tak akan bisa melihat orang yang menegurku barusan.
                “Eh, e… Maaf…” Aku tergagap.
                “Hmm…” Gumamnya. Sepertinya orang itu telah terhanyut kembali dalam alunan musik yang terus berlanjut. Akupun mencoba untuk menenangkan diriku, seraya memastikan bahwa aku tidak melakukan kebiasaan burukku lagi hingga membuat orang lain merasa terganggu.
                Tak lama, seseorang tiba-tiba duduk disampingku. Aku tak dapat mendengar langkahnya, karena terkalahkan oleh suara musik yang membahana.
                “Cantik, maaf ya lama, tadi toiletnya penuh, Kakak mesti ngantri dulu.” Kak Dinda berbisik tepat ditelingaku.  Aku cuma mengangguk, takut mengganggu orang tadi lagi. Rasa khawatir ditinggal Kak Dinda tadipun sirna, sekarang aku bisa konsentrasi mendengarkan orchestra yang tengah dimainkan.
                Kira-kira telah setengah jam berlalu. Sudah beberapa judul lagu dan musik dimainkan, mulai dari musik klasik terkenal, hingga musik-musik yang tak pernah kudengar, juga ada musik yang diambil dari beberapa lagu mulai dari lagu anak-anak, lullaby, lagu pop, dan lainnya. Sejauh ini, aku masih belum mendengar ada yang istimewa. Memang indah, namun masih seperti yang biasa kudengar sebelum-sebelumnya.
                Hampir satu setengah jam berlalu, masih biasa saja. Tiga puluh menit lagi pertunjukan berakhir. Aku mulai merasa bosan, semuanya sama saja seperti pertunjukan yang biasanya kudengar. Apa Kak Melisa bohong? Segera kutepis pikiran buruk itu. Kak Melisa tidak mungkin bohong, Kak Melisa tidak pernah sekalipun bohong kepadaku. Mungkin saja, aku yang kurang teliti mendengarkan, atau memang ada beberapa bagian acara yang telah diganti karena ketidaksertaan Kak Melisa kali ini. Ya, mungkin saja begitu.
                Hening, satu lagu lagi  berakhir. Kudengar suara seorang wanita mengisi ruangan ini melalui pengeras suara. “Selamat malam. Terimakasih atas kehadiran anda. Hari ini, merupakan hari yang sangat istimewa bagi kami, setelah sekian lama berlatih untuk menampilkan yang terbaik dihadapan anda semua. Namun, hari ini tidaklah lengkap karena salah seorang bagian kami tak dapat hadir, inspirator muda kami, sahabat terbaik yang selalu tersenyum tulus menyemangati kami, Melisa Seruni Putri yang sekarang tengah terbaring koma dirumah sakit. Kami selalu mendoakanmu dan merindukan kehadiranmu kembali, sobat. Kami tak akan pernah bisa lengkap disini tanpa kehadiranmu. Melisa, lagu ini, lagu yang selalu kau nanti untuk kau mainkan hari ini, lagu ini lagu yang selalu dengan semangat terus kau latih hingga tak terhitung betapa bosannya kami mendengarkanmu memainkannya saat kita latihan maupun diwaktu senggang, lagu yang sangat ingin kau tunjukkan didepan kami semua hari ini….” Terdengar isakan wanita itu, lalu ia melanjutkan. “Dengarlah Melisa sayang, lagu ini untukmu…”
                Aku terdiam, pikiranku kosong, inikah janji Kak Melisa itu? Nada rendah gesekan biola memecah keheningan, memulai lagu yang akan dimainkan. Aku tak tau siapa yang sedang memainkan biola itu sekarang, sepertinya orang itu akan bermain solo. Belum sampai lima detik kudengar nada-nada itu, akupun tersadar. Lagu itu…

Sabtu, 07 Juli 2012

Eyes (part 3)

Diposting oleh Nita di 04.50 0 komentar
                Masih belum ada perkembangan, begitulah kata dokter saat aku dan bunda baru sampai diruang rawat inap Kak Melisa hari ini. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku mendengar kata-kata itu dari dokter Ilham, dokter yang menangani Kak Melisa. Sudah dua minggu, keadaan Kak Melisa masih belum berubah. Kudengar Bunda menghela nafas. Ini juga bukan  pertama kalinya aku mendengar helaan nafas itu. Aku tau Bunda sudah sangat letih dengan semua ini, harapannya yang tak pernah putus dalam doa-doanya tiap malam masih belum juga terkabul. Kak Melisa masih saja diam ditempat tidurnya.
                “Assalamu’alaikum…” Sapa seseorang yang suaranya sangat kukenal. Terdengar langkahnya mendekatiku lalu tangan hangatnya mengacak-acak rambutku.
                “Wa’alaikumsalam, Kak Dinda…” Jawabku riang.
                “Wa’alaikumsalam… Loh? Nggak pergi gladi resik, nak Dinda? Bukannya nanti malam resital?” Tanya Bunda.
                “Nggak Bun, resital kali ini Dinda cuma jadi penonton aja.  Oh iya, ini Dinda letakin di vas ya Bun.” Terdengar langkah Kak Melisa menjauh dari tempatku dudukku.
                “Pasti bunga krisan lagi.” Ujarku iseng. “Ih, apa bagusnya sih tuh bunga, wangian juga mawar.”
                “Hahaa, dasar lo ya, dari dulu sewoooot mulu’. Kalo Melisa denger bisa-bisa dicubit loh.”
                “Yee, biarin.”
                “Oh gituu, ya udah, nih gue akan dengan senang hati wakilin Melisa nyubit lo.”
                “Eh, peace peace peaceeeee!” Seruku panik saat mendengar langkah cepat Kak Dinda mendekat kearahku. Kudengar Bunda tertawa kecil karena tingkahku dan Kak Dinda. Bahagia sekali rasanya mendengar tawa itu lagi. Sejak kejadian itu, aku jarang sekali mendengar Bunda tertawa. Aku lebih sering mendengar Bunda menghela nafas letih, seperti tadi pagi.
                “Oh iya, kamu nonton resital nanti malam Din?” Tawa Bunda terhenti.
                “Iya Bun, kenapa Bun?” Tanya Kak Dinda.
                “Cantik juga mau nonton, tapi Bunda nggak bisa nemenin disana.”
                “Kalo masalah itu sih gampang Bun, ntar Cantik sama Dinda aja.” Tak ada sedikitpun kudengar nada keberatan dari suara Kak Dinda.
                “Horeee!” Seruku riang.
                “Ntar kalo Cantik nakal Dinda izin cubit ya Bun.”
                “Ih, jahat!” Protesku pura-pura sebal.
                Tawa Bunda terdengar lagi beriringan dengan tawa Kak Dinda. Kak Dinda adalah sahabat Kak Melisa sejak TK dan juga seorang violist seperti Kak Melisa. Dulu Kak Dinda sering dititipkan Om dan Tante Krisna, orangtuanya, dirumahku karena mereka sangat sibuk dengan bisnis mereka. Mereka tidak mau menyewa babysitter karena trauma akibat Kak Dinda yang merupakan anak mereka satu-satunya pernah hampir diculik oleh bekas babysitternya dulu. Bunda yang sejak aku lahir memilih pensiun dini, dengan senang hati menawarkan untuk menjaga Kak Dinda selama orangtuanya bekerja. Itu sebabnya keluarga kami sangat dekat dengan Kak Dinda sampai-sampai Kak Dinda juga memanggil Bunda dengan sebutan “Bunda” bukan “Tante” begitu juga saat memanggil ayah, bukan dengan sebutan “Om”. Bagi Kak Dinda, keluarga kecil kami adalah keluarga keduanya. Dan bagiku, Kak Dinda sama seperti kakak keduaku.
                “Nah loh, bengong!” Suara Kak Dinda mengagetkanku.
                “Eh, eh.. Kenapa?” Tanyaku tergagap.
                “Kan, nggak denger, makanya jangan bengong.” Omel Kak Dinda. Aku hanya tertawa kecil.
                “Tadi Kak Dinda bilang, nanti dia jemput kamu kesini jam 5 sore, sayang.” Ujar Bunda.
                “Oh, OK kak.”
***

                Hari telah beranjak senja, udara terasa dingin. Kak Dinda belum juga datang menjeputku, kata Bunda jalanan macet. Aku tak begitu mengambil pusing, toh acaranya baru akan mulai jam delapan nanti. Jam segini memang biasanya macet, jalanan disesaki oleh bunyi klakson kendaraan pekerja-pekerja kantoran yang letih dan hendak pulang kerumahnya masing-masing secepat mungkin.
                “Cantik, Bunda pergi keruangan Dokter Ilham sebentar ya, kamu duduk disebelah Kak Melisa aja ya. Nanti, kalau kamu dengar ada apa-apa sama Kakak, kamu teriak aja yang keras, panggil dokter atau suster.” Ujar Bunda sembari menuntunku pindah dari sofa yang tengah kududuki ke kursi disebelah tempat tidur Bunda.
                “Kak…” Panggilku saat langkah Bunda telah tak terdengar lagi.
                “Kakak denger nggak tadi? Aku sama Kak Dinda mau pergi ke acara resital nanti malam. Aku bakal nepatin janji aku Kak.” Sejenak aku terdiam. Hening, tak ada respon apa-apa, hanya suara mesin yang entah apa namanya terdengar berbunyi teratur.
                “Awas aja ya Kak, kalau ntar ternyata resitalnya biasa-biasa aja, aku ngambek loh. Kakak harus beliin aku coklat yang banyak biar aku nggak ngambek lagi.” Lanjutku. Suaraku terdengar begitu lirih. Aku bahkan hampir tak bisa mendengar suaraku sendiri. Lagi, tak ada respon. Suara mesin itu masih terus berbunyi teratur mengisi keheningan.
***
                Sekitar jam setengah tujuh,  aku dan Kak Dinda telah siap untuk berangkat. Kak Dinda baru datang jam enam lewat seperempat tadi.  Terlambat satu jam lebih dari waktu yang telah kami sepakati. Setelah Shalat maghrib dulu dirumah sakit, Kak Dinda segera mengajakku berangkat keresital. Kami pun mohon pamit ke Bunda. Bunda berpesan banyaaak sekali kepadaku, jangan nakal, jangan jalan sendirian, jangan sampai terpisah dari Kak Dinda, dan sebagainya. Giliran ke Kak Dinda, Bunda Cuma pesan satu aja, “jaga Cantik  baik-baik ya” gitu kata Bunda.
                “Tenang aja Bunda, ntar kalo Kak Dinda ilang, aku teriak aja keras-keras manggil Kak Dinda. Kalo masih nggak ketemu, aku teriakin aja keras-keras kalo Kak Dinda naksir Bang Dion, pasti Kak Dinda langsung datang deh.” Celetukku usil.
                “Iiiiih, enak aja. Yang ada lo kali yang ilang.” Protes Kak Dinda sambil menjitak kepalaku.
                Setelah selesai berpamitan, dengan dituntun Kak Dinda, aku lalu melangkah keluar rumah sakit dan masuk duduk didalam mobil Kak Dinda yang akan membawa kami ketempat resital nanti.
                “Hai, Non Cantik.” Suara Mas Sugi, sopir pribadi Kak Dinda menyapaku dengan riang.
                “Wah, mas Sugi juga pergi? Nonton resital juga ya Mas?” Jawabku tak kalah riang.
                “Walah, ya ndak toh non. Kalo saya dikasih duit buat nonton juga mending duitnya aku kirim  ke kampung, buat makan anakku toh Non.” Ujar Mas Sugi dengan aksen Jawanya yang medok. “Lagian lagu-lagu kayak gitu bukan selera saya Non, mending juga denger lagu dangdut daripada lagu kayak gitu Non.” Lanjut Mas Sugi, lalu Ia mendendangkan salah satu lagu dangdut yang nggak kukenal.
                “Hahaha… Mas ini, ada-ada aja. Udah ah, jalan yok Mas, bisa satu jam nih nungguin Mas selesai konser disini.” Ujar Kak Dinda
                “Olret Non.”  Jawab Mas Sugi.
                “Allright mas.” Kataku membenarkan.
                “Nah, itu maksud saya Non.” Aku dan Kak Dinda hanya tertawa menanggapi candaan Mas Sugi. Mas Sugi memang supir yang sangat menyenangkan. Selain mengantar kemana-mana, Ia juga bisa menjadi hiburan yang menyenangkan dengan candaan-candaan khasnya. Mobilpun terdengar mulai berjalan perlahan membawaku dan Kak Dinda menuju tempat resital. 

Minggu, 01 Juli 2012

Eyes (part 2)

Diposting oleh Nita di 21.11 0 komentar
Seketika aku berlari menuju tangga rumah, lupa akan pesan Bunda yang menyuruhku untuk menunggu dibawah. Aku yang telah enam belas tahun hidup dirumah ini sama sekali tidak mendapat kesulitan untuk mencapai tangga dan menaiki anak tangga yang berjumlah tujuh belas itu satu persatu. Sesampainya di atas, Bunda telah selesai menelepon, tapi aku masih bisa mendengar isakan itu, isakan tangis Bunda.
                Tanpa aku tahu, kakiku menyandung sesuatu entah apa, akupun jatuh kelantai. Kudengar suara Bunda tergesa-gesa menghampiriku. “Cantik, kamu nggak pa-pa sayang? Kok kamu keatas?” Ujar Bunda membantuku berdiri.
                “Bunda, bunda kenapa nangis?” Seruku cemas, menghiraukan pertanyaan Bunda. Tiba-tiba Bunda memelukku dan isakan itu terdengar lagi.
                “Ayah… Ayah sama Kak Melisa kecelakaan sayang. Sekarang sedang dirumah sakit.”
                “Astaghfirullah…” Hanya istighfar yang dapat keluar dari bibirku, seketika aku merasa pipiku basah oleh airmata.
                “Kita harus kerumah sakit sekarang sayang. Kak Melisa kritis.”
                “Ayah?” ujarku “Ayah gimana Bun? Ayah baik-baik aja kan?” Senyap, tak ada jawaban. Aku menggoyangkan bahuku, bertanya.
                “Ayah… Ayak udah pergi sayang.” Suara Bunda terdengar lemah ditengah isakan tangisnya. Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Semuanya hilang dari pikiranku. Kosong. Hanya sakit yang terasa begitu menyiksa didada ini.
                Aku dan Bunda segera berangkat menuju rumah sakit. Aku tak tahu apa saja yang terjadi setelah itu, semuanya terasa berjalan begitu cepat. Sementara aku masih terkurung dalam rasa sakit yang membuat pikiran dan hatiku terasa buta seperti mataku.
                Tak terasa limabelas hari berlalu setelah kepergian Ayah. Kak Melisa juga masih dirawat dirumah sakit, kata Dokter masih belum ada perkembangan. Kini pagiku tak indah lagi. Ruang makan ini tak pernah sempurna lagi, tak ada yang menyambutku untuk sarapan pagi bersama. Pagiku kosong, dilubangi perihnya kehilangan.
                Kini juga tak ada lagi jadwal belajar yang menyenangkan setelah sarapan. Setelah sarapan, Aku dan Bunda langsung pergi berangkat kerumah sakit untuk menjaga Kak Melisa. Inilah jadwalku mulai limabelas hari yang lalu. Dirumahsakitpun, aku hanya bisa duduk, menanti, menanti, dan menanti dengan harapan dan do’a. Hanya itu yang bisa kulakukan.
***

                Pagi ini, seperti biasa, aku dan Bunda duduk dimeja makan untuk sarapan pagi. Pagi yang terasa begitu sepi. Aku tak tahu kapan aku akan terbiasa dengan keadaan ini. Disampingku, Bunda dengan sabar menyuapiku roti tawar. Sudah tiga hari aku tidak mau lagi makan roti coklat seperti biasanya. Roti coklatku terasa berbeda tanpa kehadiran Kak Melisa.
                 “Bunda…” Ujarku memecahkan keheningan.
                “Iya, kenapa sayang?” Tanya Bunda lembut.
                “Boleh nggak nanti malam aku keresital biola?” Tanyaku pelan.
                “Ngapain kesana Cantik? Kak Melisa kan nggak ada disana.” Bunda balik bertanya.
                Aku hanya diam, tak tau mesti jawab apa. Ingatanku kembali melayang ke waktu sehari sebelum kecelakaan itu terjadi. Malam itu dingin, aku tengah duduk diteras belakang, mendengarkan Kak Melisa menghasilkan nada-nada indah dari gesekan biolanya.
                “Keren kak…” Ujarku saat Kak Melisa telah berhenti menggesek biolanya.
                “Hahaa, pinter banget deh kamu kalo muji dek.” Kata Kak Melisa sambi mengacak-acak rambutku.
                “Well, itu sih masih belum seberapa dek.”
                “Ih, somboooong.” Candaku pura-pura sebal.
                “Hahahaa. Ih beneran sayaaang. Lagu buat resital besok sih biasa aja. Nah, kalo resital dua minggu lagi baru deh yang spesial lagunya.”
                “Emang kakak mau mainin lagu apa minggu depan?” Tanyaku penasaran.
                “Ada deh, pokoknya kamu harus datang minggu besok.”
                “Iya lagunya apa dulu?” Desakku.
                “Sesuatu deh pokoknyaaa.”
                “Iiiih, kakaaak…” Seruku pura-pura ngambek.
                “ Hahaha, ntar  kamu juga tau dek. Serius ya, pokoknya kamu harus janji datang keresital dua minggu lagi, apapun yang terjadi, kalo nggak, kakak marah nih.” Kata Kak Melisa sambil mencubit pipiku.
                “Iya, iya kakaaak. Aduuuh, sakit tauuuuu…”
                 Serius ya, pokoknya kamu harus janji datang keresital dua minggu lagi apapun yang terjadi, kalo nggak, kakak marah nih. Kata-kata itu, masih jelas terngiang ditelingaku. Aku tak tau mesti bilang apa kebunda, aku tak tau mesti mulai dari mana, dan aku takut Bunda tidak mau ngizinin aku kesana.
                “Ya udah… Ntar malam Bunda anterin kamu keresital, tapi Bunda nggak bisa nemenin kamu disana, nggak pa-pa?” Ucapan Bunda membuyarkan lamunanku.
                “Iya Bunda, nggak papa, makasih Bundaa…” Ujarku sambil tersenyum senang.
                “Iya sayaaang. Udah selesai kan makannya? Kita berangkat yuk?” Tangan Bunda terasa hangat dibahuku, membimbingku keluar rumah dan membantuku naik ke mobil.
 Bersambung.. ;)

Eyes (Part 4)

2

“Ih, berisik banget ya disini Kak.” Kataku sesampainya ditempat acara resital. Tak ada respon dari Kak Dinda.
                “Helloooow, Kak Dinda, Kakak denger aku nggak sih?” Ujarku lebih keras sambil menggoyangkan bahuku yang dilingkari tangan Kak Dinda.
                “Hah? Kenapa Cantik?” Tanya Kak Dinda.
                “Nggak ada. Udah dimana kita Kak? Kok bising gini sih?” Aku balik bertanya.
                “Kita masih diluar Cantik, kita harus antri dulu buat masuk.” Aku hanya mengangguk, suara Kak Dinda tak begitu jelas terdengar, tenggelam oleh kebisingan tempat ini. Aku juga lebih memilih diam, berjalan pelan-pelan dituntun Kak Dinda.
                “Wah, akhirnya duduk juga.” Ujarku lega sesampainya ditempat dudukku.
                “Eh, Kakak ketoilet bentar ya. Lo duduk disini aja, jangan kemana-mana.”  Aku tak sempat menjawab perkataan Kak Dinda, tangan hangatnya sudah terlebih dulu menghilang dari bahuku. Aku tidak terlalu suka sendirian ditempat asing seperti ini, menakutkan. Aku jarang sekali dilepas Bunda sendirian dimanapun, Bunda khawatir  terjadi hal-hal yang nggak diinginkan padaku. Selama ini, Bunda pasti selalu mendampingiku kemanapun aku pergi, kalaupun Bunda ada urusan lain yang tidak bisa ditinggalkan, Bunda pasti akan meminta kakak, ayah, atau orang lain yang bisa dipercaya untuk mengawasiku.
                Tiba-tiba musik  pembukaan resital dimainkan, diiringi tepuk tangan yang membahana. Kak Dinda kemana? Kok lama banget? Padahal acaranya udah mulai. Pikirku  cemas sambil menggoyang-goyangkan kakiku, kebiasaan burukku kalau merasa tidak nyaman.  Aku bahkan  tak bisa menikmati musik yang terus mengalun merdu, aku takut ditinggal sendirian disini.
                “Lo kenapa sih? Risih banget?” Tiba-tiba kudengar suara berat menegurku dari sampingku, reflek aku menoleh, walau sudah pasti aku tak akan bisa melihat orang yang menegurku barusan.
                “Eh, e… Maaf…” Aku tergagap.
                “Hmm…” Gumamnya. Sepertinya orang itu telah terhanyut kembali dalam alunan musik yang terus berlanjut. Akupun mencoba untuk menenangkan diriku, seraya memastikan bahwa aku tidak melakukan kebiasaan burukku lagi hingga membuat orang lain merasa terganggu.
                Tak lama, seseorang tiba-tiba duduk disampingku. Aku tak dapat mendengar langkahnya, karena terkalahkan oleh suara musik yang membahana.
                “Cantik, maaf ya lama, tadi toiletnya penuh, Kakak mesti ngantri dulu.” Kak Dinda berbisik tepat ditelingaku.  Aku cuma mengangguk, takut mengganggu orang tadi lagi. Rasa khawatir ditinggal Kak Dinda tadipun sirna, sekarang aku bisa konsentrasi mendengarkan orchestra yang tengah dimainkan.
                Kira-kira telah setengah jam berlalu. Sudah beberapa judul lagu dan musik dimainkan, mulai dari musik klasik terkenal, hingga musik-musik yang tak pernah kudengar, juga ada musik yang diambil dari beberapa lagu mulai dari lagu anak-anak, lullaby, lagu pop, dan lainnya. Sejauh ini, aku masih belum mendengar ada yang istimewa. Memang indah, namun masih seperti yang biasa kudengar sebelum-sebelumnya.
                Hampir satu setengah jam berlalu, masih biasa saja. Tiga puluh menit lagi pertunjukan berakhir. Aku mulai merasa bosan, semuanya sama saja seperti pertunjukan yang biasanya kudengar. Apa Kak Melisa bohong? Segera kutepis pikiran buruk itu. Kak Melisa tidak mungkin bohong, Kak Melisa tidak pernah sekalipun bohong kepadaku. Mungkin saja, aku yang kurang teliti mendengarkan, atau memang ada beberapa bagian acara yang telah diganti karena ketidaksertaan Kak Melisa kali ini. Ya, mungkin saja begitu.
                Hening, satu lagu lagi  berakhir. Kudengar suara seorang wanita mengisi ruangan ini melalui pengeras suara. “Selamat malam. Terimakasih atas kehadiran anda. Hari ini, merupakan hari yang sangat istimewa bagi kami, setelah sekian lama berlatih untuk menampilkan yang terbaik dihadapan anda semua. Namun, hari ini tidaklah lengkap karena salah seorang bagian kami tak dapat hadir, inspirator muda kami, sahabat terbaik yang selalu tersenyum tulus menyemangati kami, Melisa Seruni Putri yang sekarang tengah terbaring koma dirumah sakit. Kami selalu mendoakanmu dan merindukan kehadiranmu kembali, sobat. Kami tak akan pernah bisa lengkap disini tanpa kehadiranmu. Melisa, lagu ini, lagu yang selalu kau nanti untuk kau mainkan hari ini, lagu ini lagu yang selalu dengan semangat terus kau latih hingga tak terhitung betapa bosannya kami mendengarkanmu memainkannya saat kita latihan maupun diwaktu senggang, lagu yang sangat ingin kau tunjukkan didepan kami semua hari ini….” Terdengar isakan wanita itu, lalu ia melanjutkan. “Dengarlah Melisa sayang, lagu ini untukmu…”
                Aku terdiam, pikiranku kosong, inikah janji Kak Melisa itu? Nada rendah gesekan biola memecah keheningan, memulai lagu yang akan dimainkan. Aku tak tau siapa yang sedang memainkan biola itu sekarang, sepertinya orang itu akan bermain solo. Belum sampai lima detik kudengar nada-nada itu, akupun tersadar. Lagu itu…

Eyes (part 3)

0

                Masih belum ada perkembangan, begitulah kata dokter saat aku dan bunda baru sampai diruang rawat inap Kak Melisa hari ini. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku mendengar kata-kata itu dari dokter Ilham, dokter yang menangani Kak Melisa. Sudah dua minggu, keadaan Kak Melisa masih belum berubah. Kudengar Bunda menghela nafas. Ini juga bukan  pertama kalinya aku mendengar helaan nafas itu. Aku tau Bunda sudah sangat letih dengan semua ini, harapannya yang tak pernah putus dalam doa-doanya tiap malam masih belum juga terkabul. Kak Melisa masih saja diam ditempat tidurnya.
                “Assalamu’alaikum…” Sapa seseorang yang suaranya sangat kukenal. Terdengar langkahnya mendekatiku lalu tangan hangatnya mengacak-acak rambutku.
                “Wa’alaikumsalam, Kak Dinda…” Jawabku riang.
                “Wa’alaikumsalam… Loh? Nggak pergi gladi resik, nak Dinda? Bukannya nanti malam resital?” Tanya Bunda.
                “Nggak Bun, resital kali ini Dinda cuma jadi penonton aja.  Oh iya, ini Dinda letakin di vas ya Bun.” Terdengar langkah Kak Melisa menjauh dari tempatku dudukku.
                “Pasti bunga krisan lagi.” Ujarku iseng. “Ih, apa bagusnya sih tuh bunga, wangian juga mawar.”
                “Hahaa, dasar lo ya, dari dulu sewoooot mulu’. Kalo Melisa denger bisa-bisa dicubit loh.”
                “Yee, biarin.”
                “Oh gituu, ya udah, nih gue akan dengan senang hati wakilin Melisa nyubit lo.”
                “Eh, peace peace peaceeeee!” Seruku panik saat mendengar langkah cepat Kak Dinda mendekat kearahku. Kudengar Bunda tertawa kecil karena tingkahku dan Kak Dinda. Bahagia sekali rasanya mendengar tawa itu lagi. Sejak kejadian itu, aku jarang sekali mendengar Bunda tertawa. Aku lebih sering mendengar Bunda menghela nafas letih, seperti tadi pagi.
                “Oh iya, kamu nonton resital nanti malam Din?” Tawa Bunda terhenti.
                “Iya Bun, kenapa Bun?” Tanya Kak Dinda.
                “Cantik juga mau nonton, tapi Bunda nggak bisa nemenin disana.”
                “Kalo masalah itu sih gampang Bun, ntar Cantik sama Dinda aja.” Tak ada sedikitpun kudengar nada keberatan dari suara Kak Dinda.
                “Horeee!” Seruku riang.
                “Ntar kalo Cantik nakal Dinda izin cubit ya Bun.”
                “Ih, jahat!” Protesku pura-pura sebal.
                Tawa Bunda terdengar lagi beriringan dengan tawa Kak Dinda. Kak Dinda adalah sahabat Kak Melisa sejak TK dan juga seorang violist seperti Kak Melisa. Dulu Kak Dinda sering dititipkan Om dan Tante Krisna, orangtuanya, dirumahku karena mereka sangat sibuk dengan bisnis mereka. Mereka tidak mau menyewa babysitter karena trauma akibat Kak Dinda yang merupakan anak mereka satu-satunya pernah hampir diculik oleh bekas babysitternya dulu. Bunda yang sejak aku lahir memilih pensiun dini, dengan senang hati menawarkan untuk menjaga Kak Dinda selama orangtuanya bekerja. Itu sebabnya keluarga kami sangat dekat dengan Kak Dinda sampai-sampai Kak Dinda juga memanggil Bunda dengan sebutan “Bunda” bukan “Tante” begitu juga saat memanggil ayah, bukan dengan sebutan “Om”. Bagi Kak Dinda, keluarga kecil kami adalah keluarga keduanya. Dan bagiku, Kak Dinda sama seperti kakak keduaku.
                “Nah loh, bengong!” Suara Kak Dinda mengagetkanku.
                “Eh, eh.. Kenapa?” Tanyaku tergagap.
                “Kan, nggak denger, makanya jangan bengong.” Omel Kak Dinda. Aku hanya tertawa kecil.
                “Tadi Kak Dinda bilang, nanti dia jemput kamu kesini jam 5 sore, sayang.” Ujar Bunda.
                “Oh, OK kak.”
***

                Hari telah beranjak senja, udara terasa dingin. Kak Dinda belum juga datang menjeputku, kata Bunda jalanan macet. Aku tak begitu mengambil pusing, toh acaranya baru akan mulai jam delapan nanti. Jam segini memang biasanya macet, jalanan disesaki oleh bunyi klakson kendaraan pekerja-pekerja kantoran yang letih dan hendak pulang kerumahnya masing-masing secepat mungkin.
                “Cantik, Bunda pergi keruangan Dokter Ilham sebentar ya, kamu duduk disebelah Kak Melisa aja ya. Nanti, kalau kamu dengar ada apa-apa sama Kakak, kamu teriak aja yang keras, panggil dokter atau suster.” Ujar Bunda sembari menuntunku pindah dari sofa yang tengah kududuki ke kursi disebelah tempat tidur Bunda.
                “Kak…” Panggilku saat langkah Bunda telah tak terdengar lagi.
                “Kakak denger nggak tadi? Aku sama Kak Dinda mau pergi ke acara resital nanti malam. Aku bakal nepatin janji aku Kak.” Sejenak aku terdiam. Hening, tak ada respon apa-apa, hanya suara mesin yang entah apa namanya terdengar berbunyi teratur.
                “Awas aja ya Kak, kalau ntar ternyata resitalnya biasa-biasa aja, aku ngambek loh. Kakak harus beliin aku coklat yang banyak biar aku nggak ngambek lagi.” Lanjutku. Suaraku terdengar begitu lirih. Aku bahkan hampir tak bisa mendengar suaraku sendiri. Lagi, tak ada respon. Suara mesin itu masih terus berbunyi teratur mengisi keheningan.
***
                Sekitar jam setengah tujuh,  aku dan Kak Dinda telah siap untuk berangkat. Kak Dinda baru datang jam enam lewat seperempat tadi.  Terlambat satu jam lebih dari waktu yang telah kami sepakati. Setelah Shalat maghrib dulu dirumah sakit, Kak Dinda segera mengajakku berangkat keresital. Kami pun mohon pamit ke Bunda. Bunda berpesan banyaaak sekali kepadaku, jangan nakal, jangan jalan sendirian, jangan sampai terpisah dari Kak Dinda, dan sebagainya. Giliran ke Kak Dinda, Bunda Cuma pesan satu aja, “jaga Cantik  baik-baik ya” gitu kata Bunda.
                “Tenang aja Bunda, ntar kalo Kak Dinda ilang, aku teriak aja keras-keras manggil Kak Dinda. Kalo masih nggak ketemu, aku teriakin aja keras-keras kalo Kak Dinda naksir Bang Dion, pasti Kak Dinda langsung datang deh.” Celetukku usil.
                “Iiiiih, enak aja. Yang ada lo kali yang ilang.” Protes Kak Dinda sambil menjitak kepalaku.
                Setelah selesai berpamitan, dengan dituntun Kak Dinda, aku lalu melangkah keluar rumah sakit dan masuk duduk didalam mobil Kak Dinda yang akan membawa kami ketempat resital nanti.
                “Hai, Non Cantik.” Suara Mas Sugi, sopir pribadi Kak Dinda menyapaku dengan riang.
                “Wah, mas Sugi juga pergi? Nonton resital juga ya Mas?” Jawabku tak kalah riang.
                “Walah, ya ndak toh non. Kalo saya dikasih duit buat nonton juga mending duitnya aku kirim  ke kampung, buat makan anakku toh Non.” Ujar Mas Sugi dengan aksen Jawanya yang medok. “Lagian lagu-lagu kayak gitu bukan selera saya Non, mending juga denger lagu dangdut daripada lagu kayak gitu Non.” Lanjut Mas Sugi, lalu Ia mendendangkan salah satu lagu dangdut yang nggak kukenal.
                “Hahaha… Mas ini, ada-ada aja. Udah ah, jalan yok Mas, bisa satu jam nih nungguin Mas selesai konser disini.” Ujar Kak Dinda
                “Olret Non.”  Jawab Mas Sugi.
                “Allright mas.” Kataku membenarkan.
                “Nah, itu maksud saya Non.” Aku dan Kak Dinda hanya tertawa menanggapi candaan Mas Sugi. Mas Sugi memang supir yang sangat menyenangkan. Selain mengantar kemana-mana, Ia juga bisa menjadi hiburan yang menyenangkan dengan candaan-candaan khasnya. Mobilpun terdengar mulai berjalan perlahan membawaku dan Kak Dinda menuju tempat resital. 

Eyes (part 2)

0

Seketika aku berlari menuju tangga rumah, lupa akan pesan Bunda yang menyuruhku untuk menunggu dibawah. Aku yang telah enam belas tahun hidup dirumah ini sama sekali tidak mendapat kesulitan untuk mencapai tangga dan menaiki anak tangga yang berjumlah tujuh belas itu satu persatu. Sesampainya di atas, Bunda telah selesai menelepon, tapi aku masih bisa mendengar isakan itu, isakan tangis Bunda.
                Tanpa aku tahu, kakiku menyandung sesuatu entah apa, akupun jatuh kelantai. Kudengar suara Bunda tergesa-gesa menghampiriku. “Cantik, kamu nggak pa-pa sayang? Kok kamu keatas?” Ujar Bunda membantuku berdiri.
                “Bunda, bunda kenapa nangis?” Seruku cemas, menghiraukan pertanyaan Bunda. Tiba-tiba Bunda memelukku dan isakan itu terdengar lagi.
                “Ayah… Ayah sama Kak Melisa kecelakaan sayang. Sekarang sedang dirumah sakit.”
                “Astaghfirullah…” Hanya istighfar yang dapat keluar dari bibirku, seketika aku merasa pipiku basah oleh airmata.
                “Kita harus kerumah sakit sekarang sayang. Kak Melisa kritis.”
                “Ayah?” ujarku “Ayah gimana Bun? Ayah baik-baik aja kan?” Senyap, tak ada jawaban. Aku menggoyangkan bahuku, bertanya.
                “Ayah… Ayak udah pergi sayang.” Suara Bunda terdengar lemah ditengah isakan tangisnya. Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Semuanya hilang dari pikiranku. Kosong. Hanya sakit yang terasa begitu menyiksa didada ini.
                Aku dan Bunda segera berangkat menuju rumah sakit. Aku tak tahu apa saja yang terjadi setelah itu, semuanya terasa berjalan begitu cepat. Sementara aku masih terkurung dalam rasa sakit yang membuat pikiran dan hatiku terasa buta seperti mataku.
                Tak terasa limabelas hari berlalu setelah kepergian Ayah. Kak Melisa juga masih dirawat dirumah sakit, kata Dokter masih belum ada perkembangan. Kini pagiku tak indah lagi. Ruang makan ini tak pernah sempurna lagi, tak ada yang menyambutku untuk sarapan pagi bersama. Pagiku kosong, dilubangi perihnya kehilangan.
                Kini juga tak ada lagi jadwal belajar yang menyenangkan setelah sarapan. Setelah sarapan, Aku dan Bunda langsung pergi berangkat kerumah sakit untuk menjaga Kak Melisa. Inilah jadwalku mulai limabelas hari yang lalu. Dirumahsakitpun, aku hanya bisa duduk, menanti, menanti, dan menanti dengan harapan dan do’a. Hanya itu yang bisa kulakukan.
***

                Pagi ini, seperti biasa, aku dan Bunda duduk dimeja makan untuk sarapan pagi. Pagi yang terasa begitu sepi. Aku tak tahu kapan aku akan terbiasa dengan keadaan ini. Disampingku, Bunda dengan sabar menyuapiku roti tawar. Sudah tiga hari aku tidak mau lagi makan roti coklat seperti biasanya. Roti coklatku terasa berbeda tanpa kehadiran Kak Melisa.
                 “Bunda…” Ujarku memecahkan keheningan.
                “Iya, kenapa sayang?” Tanya Bunda lembut.
                “Boleh nggak nanti malam aku keresital biola?” Tanyaku pelan.
                “Ngapain kesana Cantik? Kak Melisa kan nggak ada disana.” Bunda balik bertanya.
                Aku hanya diam, tak tau mesti jawab apa. Ingatanku kembali melayang ke waktu sehari sebelum kecelakaan itu terjadi. Malam itu dingin, aku tengah duduk diteras belakang, mendengarkan Kak Melisa menghasilkan nada-nada indah dari gesekan biolanya.
                “Keren kak…” Ujarku saat Kak Melisa telah berhenti menggesek biolanya.
                “Hahaa, pinter banget deh kamu kalo muji dek.” Kata Kak Melisa sambi mengacak-acak rambutku.
                “Well, itu sih masih belum seberapa dek.”
                “Ih, somboooong.” Candaku pura-pura sebal.
                “Hahahaa. Ih beneran sayaaang. Lagu buat resital besok sih biasa aja. Nah, kalo resital dua minggu lagi baru deh yang spesial lagunya.”
                “Emang kakak mau mainin lagu apa minggu depan?” Tanyaku penasaran.
                “Ada deh, pokoknya kamu harus datang minggu besok.”
                “Iya lagunya apa dulu?” Desakku.
                “Sesuatu deh pokoknyaaa.”
                “Iiiih, kakaaak…” Seruku pura-pura ngambek.
                “ Hahaha, ntar  kamu juga tau dek. Serius ya, pokoknya kamu harus janji datang keresital dua minggu lagi, apapun yang terjadi, kalo nggak, kakak marah nih.” Kata Kak Melisa sambil mencubit pipiku.
                “Iya, iya kakaaak. Aduuuh, sakit tauuuuu…”
                 Serius ya, pokoknya kamu harus janji datang keresital dua minggu lagi apapun yang terjadi, kalo nggak, kakak marah nih. Kata-kata itu, masih jelas terngiang ditelingaku. Aku tak tau mesti bilang apa kebunda, aku tak tau mesti mulai dari mana, dan aku takut Bunda tidak mau ngizinin aku kesana.
                “Ya udah… Ntar malam Bunda anterin kamu keresital, tapi Bunda nggak bisa nemenin kamu disana, nggak pa-pa?” Ucapan Bunda membuyarkan lamunanku.
                “Iya Bunda, nggak papa, makasih Bundaa…” Ujarku sambil tersenyum senang.
                “Iya sayaaang. Udah selesai kan makannya? Kita berangkat yuk?” Tangan Bunda terasa hangat dibahuku, membimbingku keluar rumah dan membantuku naik ke mobil.
 Bersambung.. ;)

 

clover Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review