Saat kubuka mata ini, gelap. Tak ada yang bisa kulihat. Aku hanya bisa mendengarkan kicauan indah dari luar jendela, pertanda pagi telah datang. Kata orang, kicauan itu berasal dari hewan yang bernama burung. Aku tak tahu burung itu apa, dari sejak aku datang kedunia ini, aku tak pernah melihatnya. Kata orang, burung itu bisa terbang tinggi diangkasa, aku bahkan tak tahu terbang itu apa, seperti apa rasanya, lebih dari itu, aku bahkan tak tahu angkasa itu seperti apa. Kata orang angkasa itu tinggi, tinggi sekali. Aku bahkan tak mengerti tinggi itu seperti apa, bagiku, tinggi hanya sebatas kepalaku.
Saat kutolehkan wajahku kesamping, kurasakan hangat yang menerobos jendela kamar. Kata orang, hangat itu berasal dari matahari. Aku tak pernah tahu, matahari seperti apa, darimana asalnya. Kurasakan, semilir angin memainkan rambut panjangku, sejuk. Kata orang, angin tak bisa dilihat. Aku sangat suka angin. Angin membuatku merasa semua orang sama denganku, tak bisa melihat.
“Bunda?” Tanyaku saat aku mendengar langkah pelan mendekatiku. “Hahaha, percuma Bunda, Bunda nggak akan pernah bisa ngagetin aku.” Ujarku sambil tertawa riang.
“Yaaah, ketahuan lagi.” Bunda ikut tertawa. Tawa itu terdengar merdu sekali ditelingaku. Aku selalu suka mendengar tawa Bunda.
“Telingaku kan setajam Kelinci Bunda…” Candaku. Kelinci? Entahlah, aku tak tahu bentuknya seperti apa, kata orang sih telinganya panjang dan pendengarannya tajam. Dengan keterbatasanku, Tuhan memberiku kelebihan dengan pendengaran yang tajam, seperti kelinci kata Bunda.
Bunda kembali tertawa dan mengajakku sarapan. Dimeja makan telah menunggu Ayah dan Kak Melisa. Walaupun tak bisa melihat, aku yang telah 16 tahun hidup dirumah ini sudah sangat hafal setiap sudut-sudutnya.
“Wah kamu udah bangun, Cantik. Ayo sekarang kita sarapan.” Suara berat Ayah menyambut kedatanganku diruang makan.
Cantik. Itulah namaku. Semua bilang aku sangat cantik. Tapi aku sendiri tak tahu cantik itu seperti apa. Aku bahkan tak pernah tahu wajahku seperti apa. Apakah benar kata mereka? Cantikkah wajahku? Tapi apa gunanya jika aku bahkan tak pernah melihatnya.
“Kamu mau pake selai apa Cantik?” Tanya Kak Melisa.
“Coklat Kak.” Jawabku riang. Coklat? Kata orang itu warnanya coklat, aku tak pernah tau wana coklat itu seperti apa, yang aku tahu, coklat itu enak, manis, aku sangat suka coklat. Dengan sabar Kak Melisa menyuapiku sarapan roti coklat kesukaanku. Bukan karena aku buta, tapi karna aku juga tak punya bagian tubuh yang kata orang namanya tangan. Gantinya, Kak Melisa selalu meminjamkan tangannya setiap sarapan untukku.
Seperti inilah setiap pagiku. Walaupun aku tak bisa melihatnya, tapi aku tahu, aku selalu merasakannya, pagiku begitu indah. Setiap pagi aku tak pernah kesepian, semuanya disini, tak pernah sekalipun kurang satu orangpun. Walaupun aku tahu, Ayah selalu sibuk dengan bisnisnya dan Kak Melisa yang harus masuk kuliah pagi, tapi mereka selalu sempat untuk duduk disini, sarapan bersama denganku dan Bunda.
Selesai sarapan, Ayah menghampiriku.
“Cantik, Ayah berangkat dulu. Kamu hati-hati dirumah ya, jaga diri. Dengerin semua kata Bunda. Jangan nakal ya.” Ujar Ayah sambil mencium dahiku.
“Cantik, Kakak juga berangkat kuliah dulu ya.” Ujar Kak Melisa kepadaku.
“Eh, janji Kakak kemaren jadi kan?” Tanyaku.
“Pasti sayang, nanti pulang sekolah Kakak ajak kamu keresital Kakak.” Tangan lembut Kak Melisa terasaa hangat mengacak-acak rambutku. Ayah dan Kak Melisa pun berpamitan dengan Bunda. Tak lama kemudian kudengar suara mobil ayah beranjak meninggalkan rumah membawa ayah dan Kak Melisa.
Sementara aku masih disini, duduk menunggui Bunda membereskan ruang makan. Suara keran air terdengar disisi kiri belakangku, tempat Bunda sibuk mencuci piring. Andai saja aku punya tangan, pasti aku juga sekarang ada disana, membantu Bunda. Tapi, semua itu hanyalah angan-anganku saja. Aku tak akan pernah bisa membantu Bunda mencuci piring dengan keterbatasanku ini. Walaupun begitu, aku tak pernah menyesal terlahir seperti ini. Bunda selalu mengajarkan aku bahwa kita harus bersyukur atas segala sesuatu yang telah diberi Allah untuk kita. Kata Bunda, hidup yang diberikan Allah itu selalu indah, bila kita bersyukur. Dan aku selalu percaya itu.
“Udah selesai nyucinya Bunda?” Tanyaku saat bunyi keran air tehenti.
“Sudah sayang. Ayo kita belajar sekarang.” Ujar Bunda sambil menyentuh bahuku.
Akupun berjalan mengikuti Bunda keruang tengah, tempat aku biasa belajar bersama Bunda. Dulu, Bunda adalah seorang dosen di universitas yang ternama dikota ini. Kata orang, Bunda sangat pintar, menguasai semua bidang. Tapi, sejak aku lahir, Bunda memilih untuk pensiun dini. Bunda memilih untuk mengurusku dirumah. Dan tiap hari, inilah kegiatanku dan Bunda, belajar.
Kata orang, aku mewarisi bakat Bunda, kepintarannya. Walaupun aku tak pernah masuk disekolah formal, namun pengetahuanku setara dengan anak-anak yang seusia denganku. Bunda selalu mengajariku setiap hari, mulai dari bahasa inggris, sejarah, matematika, fisika, biologi, kimia, dan hal lainnya. Aku sangat suka belajar dengan bunda, amat menyenangkan rasanya.
Hari ini, aku dan Bunda belajar kimia. Bunda sedang menjelaskan tentang sistem koloid kepadaku saat sayup-sayup aku mendengar nada dering telepon genggam Bunda.
“Bunda, HP bunda bunyi tuh, ada yang nelpon deh kayaknya.” Kataku memotong penjelasan Bunda.
“Iya ya? Bunda angkat telpon bentar ya sayang. Kamu tunggu disini aja.” Kudengar langkah Bunda menjauh menaiki tangga menuju lantai dua. Aku mendengar sayup-sayup suara Bunda yang sedang berbicara serius ditelepon. Suara Bunda terdengar begitu cemas. Sayup-sayup kudengar bunda menangis. Bunda menangis! Ada apa ini?
bersambung... ;)

