Jumat, 27 Juni 2014

Eyes (part 5)

Diposting oleh Nita di 17.26 0 komentar
Nada-nada itu, membuatku terlempar keruang waktu, membuka kembali laci kenangan tiga tahun lalu. Saat itu tepat tanggal 9 Februari, hari ulang tahun Kak Melisa yang ke 17. Suara musik penuh doa terdengar ceria.
                Tiup lilinnya tiup lilinnya
                Tiup lilinnya sekarang juga…
                Aku dengan hati-hati menaiki anak tangga menuju panggung dibantu Kak Dinda. Kak Melisa pasti sadar kalau aku dan Kak Dinda tiba-tiba menghilang dari tempat tiup lilin itu, semoga Kak Melisa tak melihatku. Tepat saat Kak Dinda berbisik  bahwa aku telah berada didepan mikrofon, terdengar suara tepuk tangan dan sorakan meriah pertanda kak Melisa sudah selesai meniup lilin. Beberapa detik kemudian terdengar suara batuk kecil Kak Dinda, tanda lampu ruangan baru saja dihidupkan.
                “Kak Melisa, selamat ulang tahun…” Suaraku terdengar sedikit bergetar, ini pertama kalinya aku berbicara didepan umum. Tiba-tiba ruangan pesta hening, menantikan apa yang akan aku ucapkan selanjutnya.
                “Selamat ulang tahun yang ke 17 kak… Maaf kalau kakak bingung karena aku nggak ada disebelah kakak pas kakak tiup lilin tadi.” Aku terdiam sejenak. Semua kata-kata yang sudah kupersiapkan dari jauh-jauh hari hilang seketika. Aku sudah merencanakan ini sejak sebulan yang lalu, tanpa sepengetahuan ayah, bunda, apalagi Kak Melisa. Tapi sekarang kenapa aku malah jadi grogi. Tidak, semua rencanaku tidak boleh gagal.
                “Kak, maaf jika aku akan terdengar kacau, kakak tau kan ini pertama kalinya aku tampil didepan umum? Hehehe…” Kakiku bergetar saking groginya. “Kak, selamat ulang tahun, terimakasih sudah menghabiskan banyak sekali waktu bersamaku, selalu disampingku, selalu menemaniku, walaupun aku bawel dan banyak maunya, kadang suka ngambek dan sering nyebelin. Terimakasih kak, terimakasih sudah sangat sabar kepadaku. Terimakasih karena kakak selalu menuntunku dan mengkhawatirkanku walau aku kadang bandel suka pengen jalan sendiri ditempat yang jarang kita kunjungi, terimakasih karena selalu menguatkanku, tidak pernah  membiarkanku jatuh.” Suaraku sedikit tercekat, aku tidak boleh menangis disini.
“Terimakasih sudah meminjamkan tangan kakak tiap pagi untuk menyuapiku roti coklat kesukaanku, walaupun kakak jadi membutuhkan waktu lebih lama untuk sarapan. Terimakasih kakak sudah menceritakan kepadaku indahnya gunung, indahnya bunga-bunga, indahnya laut, dan semua tempat yang pernah kita kunjungi bersama sampai aku merasa bisa melihatnya sendiri dipikiranku. Terimakasih sudah menjadi tanganku, terimakasih sudah menjadi mataku, terimakasih kak, terimakasih, terimakasih atas semuanya…” Setitik airmata menggantung disudut mataku.
“Kak, maaf tiap ulangtahun kakak, selalu bunda yang memberi kakak kado atas namaku,maaf karena aku tak mampu memilih sendiri kado untuk kakak. Maaf jika hanya doa yang selalu bisa kuselipkan tiap hari bahagiamu.” Ruangan ini terasa semakin hening.
“Tapi hari ini, dihari super spesial ini aku memberanikan diri  berdiri disini untuk memberikan kado yang kupilih sendiri untukmu kak. Semoga kakak suka, dan sekali lagi, Selamat ulang tahun, aku selalu menyayangimu.”
For all these time you stood for me
                For all the truth that you made me see….
Nada musik lagu ‘Because you love me’nya Celine Dion terdengar lembut mengiringi nyanyianku. Hanya ini yang bisa kuberikan dihari spesial Kak Melisa ini. Walaupun sebenarnya aku sedikit gentar, karena sebelumnya aku selalu menolak untuk tampil didepan umum, walaupun semua orang meyakinkanku bahwa suaraku merdu, aku terlalu malu.
You are the one who help me up
                Never let me fall
                You are the one who saw me through, through it all…
You were my strength when I was weak
                You were my voice when I couldn’t speak
                You were my eyes when I couldn’t see
                You saw the best there was in me
                Lifted me up when I couldn’t reach
                You gave me faith ‘coz you believed
                I’m everything I am
                Because you loved me…...
                Suara riuh tepuk tangan dari penonton menyentakkanku, menyeretku keluar dari kenangan itu. Tanpa aku sadar airmata sudah menggenang dipipiku. Alunan biola telah berhenti, menyudahi lagu ‘Because You Love Me’, lagu yang kunyanyikan tiga tahun yang lalu diulang tahun Kak Melisa.
                “Kemarin sore, kami menemukan sebuah surat didalam kotak biola Melisa, kami tau surat itu telah kausiapkan dari lama. Surat itu, yang akan kau bacakan hari ini. Izinkanlah aku mewakilimu, sahabat. Agar pesanmu dapat tersampaikan.” Suara wanita itu kembali mengheningkan suasana.
                “Adikku yang cantik. Ingatkah kamu, lagu ini yang kau hadiahkan padaku saat umurku menapak angka tujuh belas. Menuju gerbang kedewasaan. Aku begitu terharu mendengarnya, mendengarkanmu yang dengan sekuat tenaga memberanikan diri berdiri dipanggung demi hadiah spesialmu, walaupun aku tau kakimu gemetar hebat saat itu. Adikku yang cantik, setiap helaan kata-katamu dihari ulang tahunku masih terngiang setiap hari ditelingaku, rasanya seperti baru satu jam lalu kau ucapkan padaku. Adikku yang cantik, dihari itu, saat umurku menapaki angka tujuh belas, menuju gerbang kedewasaan, dihari itu kulihat bidadari kecil yang sungguh memiliki kedewasaan hati, kini bidadari kecil itu sudah tumbuh besar, lusa bidadari itulah yang akan menapaki umur ketujuh belasnya, menuju gerbang kedewasaannya.
                Adikku sayang, izinkan kakak untuk memberikan kadomu ini lebih awal dari yang seharusnya. Terimakasih atas semua ucapan terimakasihmu yang begitu banyak hari itu, sungguh Kakaklah yang seharusnya mengucapkan seribu ucapan terimakasih padamu. Terimakasih telah hadir dengan semua ketulusanmu, semangatmu, senyumanmu… Terimakasih telah hadir dalam hidupku. Selamat ulang tahun, Cantika Roselia Putri. Aku selalu menyayangimu…”
                Suara tepuk tangan riuh seketika meredam isak tangisku yang sudah tak mampu kutahan lagi. Inikah janji Kak Melisa, aku bahkan sudah tak ingat lagi lusa ulang tahunku, saking pekatnya kesedihan sejak hari duka itu. Didalam hati kugantungkan do’a agar Kak Melisa segera pulih.
***
                “Cantik, ada telpon dari Bunda.” Suara Kak Dinda terdengar serak disampingku.Aku tau Kak Dinda tadi juga terisak pelan disampingku. Acara baru saja selesai beberapa menit yang lalu, Aku dan Kak Dinda memilih untuk menunggu sampai pintu keluar agak sepi.
                “Hallo, Assalamu’alaikum Bunda,” ucapku saat telepon ditempelkan Kak Dinda ditelingaku.
                “Halo, Cantik, udah selesai acaranya?”
                “Sudah Bunda, kenapa Bun?” 

                “Kamu langsung kesini sekarang ya.” DEG! Ada apa ini?

Minggu, 15 Juli 2012

Eyes (Part 4)

Diposting oleh Nita di 06.02 2 komentar
“Ih, berisik banget ya disini Kak.” Kataku sesampainya ditempat acara resital. Tak ada respon dari Kak Dinda.
                “Helloooow, Kak Dinda, Kakak denger aku nggak sih?” Ujarku lebih keras sambil menggoyangkan bahuku yang dilingkari tangan Kak Dinda.
                “Hah? Kenapa Cantik?” Tanya Kak Dinda.
                “Nggak ada. Udah dimana kita Kak? Kok bising gini sih?” Aku balik bertanya.
                “Kita masih diluar Cantik, kita harus antri dulu buat masuk.” Aku hanya mengangguk, suara Kak Dinda tak begitu jelas terdengar, tenggelam oleh kebisingan tempat ini. Aku juga lebih memilih diam, berjalan pelan-pelan dituntun Kak Dinda.
                “Wah, akhirnya duduk juga.” Ujarku lega sesampainya ditempat dudukku.
                “Eh, Kakak ketoilet bentar ya. Lo duduk disini aja, jangan kemana-mana.”  Aku tak sempat menjawab perkataan Kak Dinda, tangan hangatnya sudah terlebih dulu menghilang dari bahuku. Aku tidak terlalu suka sendirian ditempat asing seperti ini, menakutkan. Aku jarang sekali dilepas Bunda sendirian dimanapun, Bunda khawatir  terjadi hal-hal yang nggak diinginkan padaku. Selama ini, Bunda pasti selalu mendampingiku kemanapun aku pergi, kalaupun Bunda ada urusan lain yang tidak bisa ditinggalkan, Bunda pasti akan meminta kakak, ayah, atau orang lain yang bisa dipercaya untuk mengawasiku.
                Tiba-tiba musik  pembukaan resital dimainkan, diiringi tepuk tangan yang membahana. Kak Dinda kemana? Kok lama banget? Padahal acaranya udah mulai. Pikirku  cemas sambil menggoyang-goyangkan kakiku, kebiasaan burukku kalau merasa tidak nyaman.  Aku bahkan  tak bisa menikmati musik yang terus mengalun merdu, aku takut ditinggal sendirian disini.
                “Lo kenapa sih? Risih banget?” Tiba-tiba kudengar suara berat menegurku dari sampingku, reflek aku menoleh, walau sudah pasti aku tak akan bisa melihat orang yang menegurku barusan.
                “Eh, e… Maaf…” Aku tergagap.
                “Hmm…” Gumamnya. Sepertinya orang itu telah terhanyut kembali dalam alunan musik yang terus berlanjut. Akupun mencoba untuk menenangkan diriku, seraya memastikan bahwa aku tidak melakukan kebiasaan burukku lagi hingga membuat orang lain merasa terganggu.
                Tak lama, seseorang tiba-tiba duduk disampingku. Aku tak dapat mendengar langkahnya, karena terkalahkan oleh suara musik yang membahana.
                “Cantik, maaf ya lama, tadi toiletnya penuh, Kakak mesti ngantri dulu.” Kak Dinda berbisik tepat ditelingaku.  Aku cuma mengangguk, takut mengganggu orang tadi lagi. Rasa khawatir ditinggal Kak Dinda tadipun sirna, sekarang aku bisa konsentrasi mendengarkan orchestra yang tengah dimainkan.
                Kira-kira telah setengah jam berlalu. Sudah beberapa judul lagu dan musik dimainkan, mulai dari musik klasik terkenal, hingga musik-musik yang tak pernah kudengar, juga ada musik yang diambil dari beberapa lagu mulai dari lagu anak-anak, lullaby, lagu pop, dan lainnya. Sejauh ini, aku masih belum mendengar ada yang istimewa. Memang indah, namun masih seperti yang biasa kudengar sebelum-sebelumnya.
                Hampir satu setengah jam berlalu, masih biasa saja. Tiga puluh menit lagi pertunjukan berakhir. Aku mulai merasa bosan, semuanya sama saja seperti pertunjukan yang biasanya kudengar. Apa Kak Melisa bohong? Segera kutepis pikiran buruk itu. Kak Melisa tidak mungkin bohong, Kak Melisa tidak pernah sekalipun bohong kepadaku. Mungkin saja, aku yang kurang teliti mendengarkan, atau memang ada beberapa bagian acara yang telah diganti karena ketidaksertaan Kak Melisa kali ini. Ya, mungkin saja begitu.
                Hening, satu lagu lagi  berakhir. Kudengar suara seorang wanita mengisi ruangan ini melalui pengeras suara. “Selamat malam. Terimakasih atas kehadiran anda. Hari ini, merupakan hari yang sangat istimewa bagi kami, setelah sekian lama berlatih untuk menampilkan yang terbaik dihadapan anda semua. Namun, hari ini tidaklah lengkap karena salah seorang bagian kami tak dapat hadir, inspirator muda kami, sahabat terbaik yang selalu tersenyum tulus menyemangati kami, Melisa Seruni Putri yang sekarang tengah terbaring koma dirumah sakit. Kami selalu mendoakanmu dan merindukan kehadiranmu kembali, sobat. Kami tak akan pernah bisa lengkap disini tanpa kehadiranmu. Melisa, lagu ini, lagu yang selalu kau nanti untuk kau mainkan hari ini, lagu ini lagu yang selalu dengan semangat terus kau latih hingga tak terhitung betapa bosannya kami mendengarkanmu memainkannya saat kita latihan maupun diwaktu senggang, lagu yang sangat ingin kau tunjukkan didepan kami semua hari ini….” Terdengar isakan wanita itu, lalu ia melanjutkan. “Dengarlah Melisa sayang, lagu ini untukmu…”
                Aku terdiam, pikiranku kosong, inikah janji Kak Melisa itu? Nada rendah gesekan biola memecah keheningan, memulai lagu yang akan dimainkan. Aku tak tau siapa yang sedang memainkan biola itu sekarang, sepertinya orang itu akan bermain solo. Belum sampai lima detik kudengar nada-nada itu, akupun tersadar. Lagu itu…

Sabtu, 07 Juli 2012

Eyes (part 3)

Diposting oleh Nita di 04.50 0 komentar
                Masih belum ada perkembangan, begitulah kata dokter saat aku dan bunda baru sampai diruang rawat inap Kak Melisa hari ini. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku mendengar kata-kata itu dari dokter Ilham, dokter yang menangani Kak Melisa. Sudah dua minggu, keadaan Kak Melisa masih belum berubah. Kudengar Bunda menghela nafas. Ini juga bukan  pertama kalinya aku mendengar helaan nafas itu. Aku tau Bunda sudah sangat letih dengan semua ini, harapannya yang tak pernah putus dalam doa-doanya tiap malam masih belum juga terkabul. Kak Melisa masih saja diam ditempat tidurnya.
                “Assalamu’alaikum…” Sapa seseorang yang suaranya sangat kukenal. Terdengar langkahnya mendekatiku lalu tangan hangatnya mengacak-acak rambutku.
                “Wa’alaikumsalam, Kak Dinda…” Jawabku riang.
                “Wa’alaikumsalam… Loh? Nggak pergi gladi resik, nak Dinda? Bukannya nanti malam resital?” Tanya Bunda.
                “Nggak Bun, resital kali ini Dinda cuma jadi penonton aja.  Oh iya, ini Dinda letakin di vas ya Bun.” Terdengar langkah Kak Melisa menjauh dari tempatku dudukku.
                “Pasti bunga krisan lagi.” Ujarku iseng. “Ih, apa bagusnya sih tuh bunga, wangian juga mawar.”
                “Hahaa, dasar lo ya, dari dulu sewoooot mulu’. Kalo Melisa denger bisa-bisa dicubit loh.”
                “Yee, biarin.”
                “Oh gituu, ya udah, nih gue akan dengan senang hati wakilin Melisa nyubit lo.”
                “Eh, peace peace peaceeeee!” Seruku panik saat mendengar langkah cepat Kak Dinda mendekat kearahku. Kudengar Bunda tertawa kecil karena tingkahku dan Kak Dinda. Bahagia sekali rasanya mendengar tawa itu lagi. Sejak kejadian itu, aku jarang sekali mendengar Bunda tertawa. Aku lebih sering mendengar Bunda menghela nafas letih, seperti tadi pagi.
                “Oh iya, kamu nonton resital nanti malam Din?” Tawa Bunda terhenti.
                “Iya Bun, kenapa Bun?” Tanya Kak Dinda.
                “Cantik juga mau nonton, tapi Bunda nggak bisa nemenin disana.”
                “Kalo masalah itu sih gampang Bun, ntar Cantik sama Dinda aja.” Tak ada sedikitpun kudengar nada keberatan dari suara Kak Dinda.
                “Horeee!” Seruku riang.
                “Ntar kalo Cantik nakal Dinda izin cubit ya Bun.”
                “Ih, jahat!” Protesku pura-pura sebal.
                Tawa Bunda terdengar lagi beriringan dengan tawa Kak Dinda. Kak Dinda adalah sahabat Kak Melisa sejak TK dan juga seorang violist seperti Kak Melisa. Dulu Kak Dinda sering dititipkan Om dan Tante Krisna, orangtuanya, dirumahku karena mereka sangat sibuk dengan bisnis mereka. Mereka tidak mau menyewa babysitter karena trauma akibat Kak Dinda yang merupakan anak mereka satu-satunya pernah hampir diculik oleh bekas babysitternya dulu. Bunda yang sejak aku lahir memilih pensiun dini, dengan senang hati menawarkan untuk menjaga Kak Dinda selama orangtuanya bekerja. Itu sebabnya keluarga kami sangat dekat dengan Kak Dinda sampai-sampai Kak Dinda juga memanggil Bunda dengan sebutan “Bunda” bukan “Tante” begitu juga saat memanggil ayah, bukan dengan sebutan “Om”. Bagi Kak Dinda, keluarga kecil kami adalah keluarga keduanya. Dan bagiku, Kak Dinda sama seperti kakak keduaku.
                “Nah loh, bengong!” Suara Kak Dinda mengagetkanku.
                “Eh, eh.. Kenapa?” Tanyaku tergagap.
                “Kan, nggak denger, makanya jangan bengong.” Omel Kak Dinda. Aku hanya tertawa kecil.
                “Tadi Kak Dinda bilang, nanti dia jemput kamu kesini jam 5 sore, sayang.” Ujar Bunda.
                “Oh, OK kak.”
***

                Hari telah beranjak senja, udara terasa dingin. Kak Dinda belum juga datang menjeputku, kata Bunda jalanan macet. Aku tak begitu mengambil pusing, toh acaranya baru akan mulai jam delapan nanti. Jam segini memang biasanya macet, jalanan disesaki oleh bunyi klakson kendaraan pekerja-pekerja kantoran yang letih dan hendak pulang kerumahnya masing-masing secepat mungkin.
                “Cantik, Bunda pergi keruangan Dokter Ilham sebentar ya, kamu duduk disebelah Kak Melisa aja ya. Nanti, kalau kamu dengar ada apa-apa sama Kakak, kamu teriak aja yang keras, panggil dokter atau suster.” Ujar Bunda sembari menuntunku pindah dari sofa yang tengah kududuki ke kursi disebelah tempat tidur Bunda.
                “Kak…” Panggilku saat langkah Bunda telah tak terdengar lagi.
                “Kakak denger nggak tadi? Aku sama Kak Dinda mau pergi ke acara resital nanti malam. Aku bakal nepatin janji aku Kak.” Sejenak aku terdiam. Hening, tak ada respon apa-apa, hanya suara mesin yang entah apa namanya terdengar berbunyi teratur.
                “Awas aja ya Kak, kalau ntar ternyata resitalnya biasa-biasa aja, aku ngambek loh. Kakak harus beliin aku coklat yang banyak biar aku nggak ngambek lagi.” Lanjutku. Suaraku terdengar begitu lirih. Aku bahkan hampir tak bisa mendengar suaraku sendiri. Lagi, tak ada respon. Suara mesin itu masih terus berbunyi teratur mengisi keheningan.
***
                Sekitar jam setengah tujuh,  aku dan Kak Dinda telah siap untuk berangkat. Kak Dinda baru datang jam enam lewat seperempat tadi.  Terlambat satu jam lebih dari waktu yang telah kami sepakati. Setelah Shalat maghrib dulu dirumah sakit, Kak Dinda segera mengajakku berangkat keresital. Kami pun mohon pamit ke Bunda. Bunda berpesan banyaaak sekali kepadaku, jangan nakal, jangan jalan sendirian, jangan sampai terpisah dari Kak Dinda, dan sebagainya. Giliran ke Kak Dinda, Bunda Cuma pesan satu aja, “jaga Cantik  baik-baik ya” gitu kata Bunda.
                “Tenang aja Bunda, ntar kalo Kak Dinda ilang, aku teriak aja keras-keras manggil Kak Dinda. Kalo masih nggak ketemu, aku teriakin aja keras-keras kalo Kak Dinda naksir Bang Dion, pasti Kak Dinda langsung datang deh.” Celetukku usil.
                “Iiiiih, enak aja. Yang ada lo kali yang ilang.” Protes Kak Dinda sambil menjitak kepalaku.
                Setelah selesai berpamitan, dengan dituntun Kak Dinda, aku lalu melangkah keluar rumah sakit dan masuk duduk didalam mobil Kak Dinda yang akan membawa kami ketempat resital nanti.
                “Hai, Non Cantik.” Suara Mas Sugi, sopir pribadi Kak Dinda menyapaku dengan riang.
                “Wah, mas Sugi juga pergi? Nonton resital juga ya Mas?” Jawabku tak kalah riang.
                “Walah, ya ndak toh non. Kalo saya dikasih duit buat nonton juga mending duitnya aku kirim  ke kampung, buat makan anakku toh Non.” Ujar Mas Sugi dengan aksen Jawanya yang medok. “Lagian lagu-lagu kayak gitu bukan selera saya Non, mending juga denger lagu dangdut daripada lagu kayak gitu Non.” Lanjut Mas Sugi, lalu Ia mendendangkan salah satu lagu dangdut yang nggak kukenal.
                “Hahaha… Mas ini, ada-ada aja. Udah ah, jalan yok Mas, bisa satu jam nih nungguin Mas selesai konser disini.” Ujar Kak Dinda
                “Olret Non.”  Jawab Mas Sugi.
                “Allright mas.” Kataku membenarkan.
                “Nah, itu maksud saya Non.” Aku dan Kak Dinda hanya tertawa menanggapi candaan Mas Sugi. Mas Sugi memang supir yang sangat menyenangkan. Selain mengantar kemana-mana, Ia juga bisa menjadi hiburan yang menyenangkan dengan candaan-candaan khasnya. Mobilpun terdengar mulai berjalan perlahan membawaku dan Kak Dinda menuju tempat resital. 

Minggu, 01 Juli 2012

Eyes (part 2)

Diposting oleh Nita di 21.11 0 komentar
Seketika aku berlari menuju tangga rumah, lupa akan pesan Bunda yang menyuruhku untuk menunggu dibawah. Aku yang telah enam belas tahun hidup dirumah ini sama sekali tidak mendapat kesulitan untuk mencapai tangga dan menaiki anak tangga yang berjumlah tujuh belas itu satu persatu. Sesampainya di atas, Bunda telah selesai menelepon, tapi aku masih bisa mendengar isakan itu, isakan tangis Bunda.
                Tanpa aku tahu, kakiku menyandung sesuatu entah apa, akupun jatuh kelantai. Kudengar suara Bunda tergesa-gesa menghampiriku. “Cantik, kamu nggak pa-pa sayang? Kok kamu keatas?” Ujar Bunda membantuku berdiri.
                “Bunda, bunda kenapa nangis?” Seruku cemas, menghiraukan pertanyaan Bunda. Tiba-tiba Bunda memelukku dan isakan itu terdengar lagi.
                “Ayah… Ayah sama Kak Melisa kecelakaan sayang. Sekarang sedang dirumah sakit.”
                “Astaghfirullah…” Hanya istighfar yang dapat keluar dari bibirku, seketika aku merasa pipiku basah oleh airmata.
                “Kita harus kerumah sakit sekarang sayang. Kak Melisa kritis.”
                “Ayah?” ujarku “Ayah gimana Bun? Ayah baik-baik aja kan?” Senyap, tak ada jawaban. Aku menggoyangkan bahuku, bertanya.
                “Ayah… Ayak udah pergi sayang.” Suara Bunda terdengar lemah ditengah isakan tangisnya. Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Semuanya hilang dari pikiranku. Kosong. Hanya sakit yang terasa begitu menyiksa didada ini.
                Aku dan Bunda segera berangkat menuju rumah sakit. Aku tak tahu apa saja yang terjadi setelah itu, semuanya terasa berjalan begitu cepat. Sementara aku masih terkurung dalam rasa sakit yang membuat pikiran dan hatiku terasa buta seperti mataku.
                Tak terasa limabelas hari berlalu setelah kepergian Ayah. Kak Melisa juga masih dirawat dirumah sakit, kata Dokter masih belum ada perkembangan. Kini pagiku tak indah lagi. Ruang makan ini tak pernah sempurna lagi, tak ada yang menyambutku untuk sarapan pagi bersama. Pagiku kosong, dilubangi perihnya kehilangan.
                Kini juga tak ada lagi jadwal belajar yang menyenangkan setelah sarapan. Setelah sarapan, Aku dan Bunda langsung pergi berangkat kerumah sakit untuk menjaga Kak Melisa. Inilah jadwalku mulai limabelas hari yang lalu. Dirumahsakitpun, aku hanya bisa duduk, menanti, menanti, dan menanti dengan harapan dan do’a. Hanya itu yang bisa kulakukan.
***

                Pagi ini, seperti biasa, aku dan Bunda duduk dimeja makan untuk sarapan pagi. Pagi yang terasa begitu sepi. Aku tak tahu kapan aku akan terbiasa dengan keadaan ini. Disampingku, Bunda dengan sabar menyuapiku roti tawar. Sudah tiga hari aku tidak mau lagi makan roti coklat seperti biasanya. Roti coklatku terasa berbeda tanpa kehadiran Kak Melisa.
                 “Bunda…” Ujarku memecahkan keheningan.
                “Iya, kenapa sayang?” Tanya Bunda lembut.
                “Boleh nggak nanti malam aku keresital biola?” Tanyaku pelan.
                “Ngapain kesana Cantik? Kak Melisa kan nggak ada disana.” Bunda balik bertanya.
                Aku hanya diam, tak tau mesti jawab apa. Ingatanku kembali melayang ke waktu sehari sebelum kecelakaan itu terjadi. Malam itu dingin, aku tengah duduk diteras belakang, mendengarkan Kak Melisa menghasilkan nada-nada indah dari gesekan biolanya.
                “Keren kak…” Ujarku saat Kak Melisa telah berhenti menggesek biolanya.
                “Hahaa, pinter banget deh kamu kalo muji dek.” Kata Kak Melisa sambi mengacak-acak rambutku.
                “Well, itu sih masih belum seberapa dek.”
                “Ih, somboooong.” Candaku pura-pura sebal.
                “Hahahaa. Ih beneran sayaaang. Lagu buat resital besok sih biasa aja. Nah, kalo resital dua minggu lagi baru deh yang spesial lagunya.”
                “Emang kakak mau mainin lagu apa minggu depan?” Tanyaku penasaran.
                “Ada deh, pokoknya kamu harus datang minggu besok.”
                “Iya lagunya apa dulu?” Desakku.
                “Sesuatu deh pokoknyaaa.”
                “Iiiih, kakaaak…” Seruku pura-pura ngambek.
                “ Hahaha, ntar  kamu juga tau dek. Serius ya, pokoknya kamu harus janji datang keresital dua minggu lagi, apapun yang terjadi, kalo nggak, kakak marah nih.” Kata Kak Melisa sambil mencubit pipiku.
                “Iya, iya kakaaak. Aduuuh, sakit tauuuuu…”
                 Serius ya, pokoknya kamu harus janji datang keresital dua minggu lagi apapun yang terjadi, kalo nggak, kakak marah nih. Kata-kata itu, masih jelas terngiang ditelingaku. Aku tak tau mesti bilang apa kebunda, aku tak tau mesti mulai dari mana, dan aku takut Bunda tidak mau ngizinin aku kesana.
                “Ya udah… Ntar malam Bunda anterin kamu keresital, tapi Bunda nggak bisa nemenin kamu disana, nggak pa-pa?” Ucapan Bunda membuyarkan lamunanku.
                “Iya Bunda, nggak papa, makasih Bundaa…” Ujarku sambil tersenyum senang.
                “Iya sayaaang. Udah selesai kan makannya? Kita berangkat yuk?” Tangan Bunda terasa hangat dibahuku, membimbingku keluar rumah dan membantuku naik ke mobil.
 Bersambung.. ;)

Sabtu, 19 Mei 2012

Eyes (part 1)

Diposting oleh Nita di 05.52 0 komentar
                Saat kubuka mata ini, gelap. Tak ada yang bisa kulihat. Aku hanya bisa mendengarkan kicauan indah dari luar jendela, pertanda pagi telah datang. Kata orang, kicauan itu berasal dari hewan yang bernama burung. Aku tak tahu burung itu apa, dari sejak aku datang kedunia ini, aku tak pernah melihatnya. Kata orang, burung itu bisa terbang tinggi diangkasa, aku bahkan tak tahu terbang itu apa, seperti apa rasanya, lebih dari itu, aku bahkan tak tahu angkasa itu seperti apa. Kata orang angkasa itu tinggi, tinggi sekali. Aku bahkan tak mengerti tinggi itu seperti apa, bagiku, tinggi hanya sebatas kepalaku.
                Saat kutolehkan wajahku kesamping, kurasakan hangat yang menerobos jendela kamar. Kata orang, hangat itu berasal dari matahari. Aku tak pernah tahu, matahari seperti apa, darimana asalnya. Kurasakan, semilir angin memainkan rambut panjangku, sejuk. Kata orang, angin tak bisa dilihat. Aku sangat suka angin. Angin membuatku merasa semua orang sama denganku, tak bisa melihat.
                “Bunda?” Tanyaku saat aku mendengar langkah pelan mendekatiku. “Hahaha, percuma Bunda, Bunda nggak akan pernah bisa ngagetin aku.” Ujarku sambil tertawa riang.
                “Yaaah, ketahuan lagi.” Bunda ikut tertawa. Tawa itu terdengar merdu sekali ditelingaku. Aku selalu suka mendengar tawa Bunda.
                “Telingaku kan setajam Kelinci Bunda…” Candaku. Kelinci? Entahlah, aku tak tahu bentuknya seperti apa, kata orang sih telinganya panjang dan pendengarannya tajam.  Dengan keterbatasanku, Tuhan memberiku kelebihan dengan pendengaran yang tajam, seperti kelinci kata Bunda.
                Bunda kembali tertawa dan mengajakku sarapan. Dimeja makan telah menunggu Ayah dan Kak Melisa. Walaupun tak bisa melihat, aku yang telah 16 tahun hidup dirumah ini sudah sangat hafal setiap sudut-sudutnya.
                “Wah kamu udah bangun, Cantik. Ayo sekarang kita sarapan.” Suara berat Ayah menyambut kedatanganku diruang makan.
                Cantik. Itulah namaku. Semua bilang aku sangat cantik. Tapi aku sendiri tak tahu cantik itu seperti apa. Aku bahkan tak pernah tahu wajahku seperti apa. Apakah benar kata mereka? Cantikkah wajahku? Tapi apa gunanya jika aku bahkan tak pernah melihatnya.
                “Kamu mau pake selai apa Cantik?” Tanya Kak Melisa.
                “Coklat Kak.” Jawabku riang. Coklat? Kata orang itu warnanya coklat, aku tak pernah tau wana coklat itu seperti apa, yang aku tahu, coklat itu enak, manis, aku sangat suka coklat. Dengan sabar Kak Melisa menyuapiku sarapan roti coklat kesukaanku. Bukan karena aku buta, tapi karna aku juga tak punya bagian tubuh yang kata orang namanya tangan. Gantinya, Kak Melisa selalu meminjamkan tangannya setiap sarapan untukku.
                Seperti inilah setiap pagiku. Walaupun aku tak bisa melihatnya, tapi aku tahu, aku selalu merasakannya, pagiku begitu indah. Setiap pagi aku tak pernah kesepian, semuanya disini, tak pernah sekalipun kurang satu orangpun. Walaupun aku tahu, Ayah selalu sibuk dengan bisnisnya dan Kak Melisa yang harus masuk kuliah pagi, tapi mereka selalu sempat untuk duduk disini, sarapan bersama denganku dan Bunda.
                Selesai sarapan, Ayah menghampiriku.
                “Cantik, Ayah berangkat dulu. Kamu hati-hati dirumah ya, jaga diri. Dengerin semua kata Bunda. Jangan nakal ya.” Ujar Ayah sambil mencium dahiku.
                “Cantik, Kakak juga berangkat kuliah dulu ya.” Ujar Kak Melisa kepadaku.
                “Eh, janji Kakak kemaren jadi kan?” Tanyaku.
                “Pasti sayang, nanti pulang sekolah Kakak ajak kamu keresital Kakak.” Tangan lembut Kak Melisa terasaa hangat mengacak-acak rambutku. Ayah dan Kak Melisa pun berpamitan dengan Bunda. Tak lama kemudian kudengar suara mobil ayah beranjak meninggalkan rumah membawa ayah dan Kak Melisa.
                Sementara aku masih disini, duduk menunggui Bunda membereskan ruang makan. Suara keran air terdengar disisi kiri belakangku, tempat Bunda sibuk mencuci piring. Andai saja aku punya tangan, pasti aku juga sekarang ada disana, membantu Bunda. Tapi, semua itu hanyalah angan-anganku saja. Aku tak akan pernah bisa membantu Bunda mencuci piring dengan keterbatasanku ini. Walaupun begitu, aku tak pernah menyesal terlahir seperti ini. Bunda selalu mengajarkan aku bahwa kita harus bersyukur atas segala sesuatu yang telah diberi Allah untuk kita. Kata Bunda, hidup yang diberikan Allah itu selalu indah, bila kita bersyukur. Dan aku selalu percaya itu.
                “Udah selesai nyucinya Bunda?” Tanyaku saat bunyi keran air tehenti.
                “Sudah sayang. Ayo kita belajar sekarang.” Ujar Bunda sambil menyentuh bahuku.
Akupun berjalan mengikuti Bunda keruang tengah, tempat aku biasa belajar bersama Bunda. Dulu, Bunda adalah seorang dosen di universitas yang ternama dikota ini. Kata orang, Bunda sangat pintar, menguasai semua bidang. Tapi, sejak aku lahir, Bunda memilih untuk pensiun dini. Bunda memilih untuk mengurusku dirumah. Dan tiap hari, inilah kegiatanku dan Bunda, belajar.
                Kata orang, aku mewarisi bakat Bunda, kepintarannya. Walaupun aku tak pernah masuk disekolah formal, namun pengetahuanku setara dengan anak-anak yang seusia denganku. Bunda selalu mengajariku setiap hari, mulai dari bahasa inggris, sejarah, matematika, fisika, biologi, kimia, dan hal lainnya. Aku sangat suka belajar dengan bunda, amat menyenangkan rasanya.
                Hari ini, aku dan Bunda belajar kimia. Bunda sedang menjelaskan tentang sistem koloid kepadaku saat sayup-sayup aku mendengar nada dering telepon genggam Bunda.
                “Bunda, HP bunda bunyi tuh, ada yang nelpon deh kayaknya.” Kataku memotong penjelasan Bunda.
                “Iya ya? Bunda angkat telpon bentar ya sayang. Kamu tunggu disini aja.” Kudengar langkah Bunda menjauh menaiki tangga menuju lantai dua. Aku mendengar sayup-sayup suara Bunda yang sedang berbicara serius ditelepon. Suara Bunda terdengar begitu cemas. Sayup-sayup kudengar bunda menangis. Bunda menangis! Ada apa ini? 

bersambung... ;)

Kamis, 22 Desember 2011

I Love Mom

Diposting oleh Nita di 06.37 0 komentar
7Well, this day is mothers day.. :D
Happy mothers day to all mom in the world, especially to my mom, You are my everything.
I can't be here without you.
You just someone who always know everythings that I need..
You just someone who always forgive all about me..
You, who always love me wholeheartedly..
who always teach me everything..
who will always smile when I feel happy..
who never want to hurt me..
who always give the best for me..
From you, I get the best love..
I Love You, Mom.. :')

I know, I will never can pay off all that you give to me..
This just a little thing that I can give you, Mom..

SURGA DI TELAPAK KAKIMU
(by: Gita Gutawa)
Kunyanyikan sebuah lagu
Untukmu Ibu
sebagai wujud terimakasih
Ku kepadamu
Tanpa lelah kau berjuang
Membesarkanku
Berikan yang terbaik untukku

Izinkanlah tanganmu kucium

Dan kubersujud dipangkuanmu
Temukan kedamaian
Dihangat pelukmu

Didalam hati kuyakin

Serta percaya
ada kekuatan doa yang engkau titipkan
Lewat Tuhan membuat
Semangat bila diri ini rapuh
Dan tiada berdaya

Ada surga di telapak kakimu

Betapa besar arti dirimu
Buka pintu maafmu
Saat kulukai hatimu

Ada surga di telapak kakimu

Lambangkan mulianya dirimu
Hanya lewat restumu
Terbuka pintu ke surga

Kasih sayangmu begitu tulus

Kau cahaya dihidupku
Tiada seorang pun yang dapat menggantimu

Ada surga di telapak kakimu

Betapa besar arti dirimu
Buka pintu maafmu
Saat kulukai hatimu

Ada surga di telapak kakimu

Lambangkan mulianya dirimu
Hanya lewat restumu
Terbuka pintu ke surga

Hanya lewat restumu
Terbuka pintu ke surga 
Love You so much Mom.. :')
Happy mother's day All.. :D

Rabu, 07 Desember 2011

Demi Lovato - LA LA LAND

Diposting oleh Nita di 19.23 0 komentar
I am confident, but I still have my moments
Baby, that's just me
I'm not a supermodel, I still eat McDonald's
Baby, that's just me

Well, some may say I need to be afraid
Of losing everything, because of where I
Had my start and where I made my name
Well, everything's the same in the La La Land machine
Machine, machine

Who said I can't wear my Converse with my dress?
Well baby, that's just me
Who said I can't be single and have to go out and mingle
Baby, that's not me, no, no

Well, some may say I need to be afraid
Of losing everything, because of where I
Had my start and where I made my name
Well, everything's the same in the La La Land

Tell me do you feel the way I feel
'Cause nothing else is real in the La La Land appeal

Well, some may say I need to be afraid
Of losing everything, because of where I
Had my start and where I made my name
Well, everything's the same in the La La Land machine
Well, I'm not gonna change in the La La Land machine
I will stay the same in the La La Land
Machine, machine, machine

I won't change anything in my life
(I won't change anything in my life)
I'm staying myself tonight
(I'm staying myself tonight)


Just be yourself whoever you are.. :)

Eyes (part 5)

0

Nada-nada itu, membuatku terlempar keruang waktu, membuka kembali laci kenangan tiga tahun lalu. Saat itu tepat tanggal 9 Februari, hari ulang tahun Kak Melisa yang ke 17. Suara musik penuh doa terdengar ceria.
                Tiup lilinnya tiup lilinnya
                Tiup lilinnya sekarang juga…
                Aku dengan hati-hati menaiki anak tangga menuju panggung dibantu Kak Dinda. Kak Melisa pasti sadar kalau aku dan Kak Dinda tiba-tiba menghilang dari tempat tiup lilin itu, semoga Kak Melisa tak melihatku. Tepat saat Kak Dinda berbisik  bahwa aku telah berada didepan mikrofon, terdengar suara tepuk tangan dan sorakan meriah pertanda kak Melisa sudah selesai meniup lilin. Beberapa detik kemudian terdengar suara batuk kecil Kak Dinda, tanda lampu ruangan baru saja dihidupkan.
                “Kak Melisa, selamat ulang tahun…” Suaraku terdengar sedikit bergetar, ini pertama kalinya aku berbicara didepan umum. Tiba-tiba ruangan pesta hening, menantikan apa yang akan aku ucapkan selanjutnya.
                “Selamat ulang tahun yang ke 17 kak… Maaf kalau kakak bingung karena aku nggak ada disebelah kakak pas kakak tiup lilin tadi.” Aku terdiam sejenak. Semua kata-kata yang sudah kupersiapkan dari jauh-jauh hari hilang seketika. Aku sudah merencanakan ini sejak sebulan yang lalu, tanpa sepengetahuan ayah, bunda, apalagi Kak Melisa. Tapi sekarang kenapa aku malah jadi grogi. Tidak, semua rencanaku tidak boleh gagal.
                “Kak, maaf jika aku akan terdengar kacau, kakak tau kan ini pertama kalinya aku tampil didepan umum? Hehehe…” Kakiku bergetar saking groginya. “Kak, selamat ulang tahun, terimakasih sudah menghabiskan banyak sekali waktu bersamaku, selalu disampingku, selalu menemaniku, walaupun aku bawel dan banyak maunya, kadang suka ngambek dan sering nyebelin. Terimakasih kak, terimakasih sudah sangat sabar kepadaku. Terimakasih karena kakak selalu menuntunku dan mengkhawatirkanku walau aku kadang bandel suka pengen jalan sendiri ditempat yang jarang kita kunjungi, terimakasih karena selalu menguatkanku, tidak pernah  membiarkanku jatuh.” Suaraku sedikit tercekat, aku tidak boleh menangis disini.
“Terimakasih sudah meminjamkan tangan kakak tiap pagi untuk menyuapiku roti coklat kesukaanku, walaupun kakak jadi membutuhkan waktu lebih lama untuk sarapan. Terimakasih kakak sudah menceritakan kepadaku indahnya gunung, indahnya bunga-bunga, indahnya laut, dan semua tempat yang pernah kita kunjungi bersama sampai aku merasa bisa melihatnya sendiri dipikiranku. Terimakasih sudah menjadi tanganku, terimakasih sudah menjadi mataku, terimakasih kak, terimakasih, terimakasih atas semuanya…” Setitik airmata menggantung disudut mataku.
“Kak, maaf tiap ulangtahun kakak, selalu bunda yang memberi kakak kado atas namaku,maaf karena aku tak mampu memilih sendiri kado untuk kakak. Maaf jika hanya doa yang selalu bisa kuselipkan tiap hari bahagiamu.” Ruangan ini terasa semakin hening.
“Tapi hari ini, dihari super spesial ini aku memberanikan diri  berdiri disini untuk memberikan kado yang kupilih sendiri untukmu kak. Semoga kakak suka, dan sekali lagi, Selamat ulang tahun, aku selalu menyayangimu.”
For all these time you stood for me
                For all the truth that you made me see….
Nada musik lagu ‘Because you love me’nya Celine Dion terdengar lembut mengiringi nyanyianku. Hanya ini yang bisa kuberikan dihari spesial Kak Melisa ini. Walaupun sebenarnya aku sedikit gentar, karena sebelumnya aku selalu menolak untuk tampil didepan umum, walaupun semua orang meyakinkanku bahwa suaraku merdu, aku terlalu malu.
You are the one who help me up
                Never let me fall
                You are the one who saw me through, through it all…
You were my strength when I was weak
                You were my voice when I couldn’t speak
                You were my eyes when I couldn’t see
                You saw the best there was in me
                Lifted me up when I couldn’t reach
                You gave me faith ‘coz you believed
                I’m everything I am
                Because you loved me…...
                Suara riuh tepuk tangan dari penonton menyentakkanku, menyeretku keluar dari kenangan itu. Tanpa aku sadar airmata sudah menggenang dipipiku. Alunan biola telah berhenti, menyudahi lagu ‘Because You Love Me’, lagu yang kunyanyikan tiga tahun yang lalu diulang tahun Kak Melisa.
                “Kemarin sore, kami menemukan sebuah surat didalam kotak biola Melisa, kami tau surat itu telah kausiapkan dari lama. Surat itu, yang akan kau bacakan hari ini. Izinkanlah aku mewakilimu, sahabat. Agar pesanmu dapat tersampaikan.” Suara wanita itu kembali mengheningkan suasana.
                “Adikku yang cantik. Ingatkah kamu, lagu ini yang kau hadiahkan padaku saat umurku menapak angka tujuh belas. Menuju gerbang kedewasaan. Aku begitu terharu mendengarnya, mendengarkanmu yang dengan sekuat tenaga memberanikan diri berdiri dipanggung demi hadiah spesialmu, walaupun aku tau kakimu gemetar hebat saat itu. Adikku yang cantik, setiap helaan kata-katamu dihari ulang tahunku masih terngiang setiap hari ditelingaku, rasanya seperti baru satu jam lalu kau ucapkan padaku. Adikku yang cantik, dihari itu, saat umurku menapaki angka tujuh belas, menuju gerbang kedewasaan, dihari itu kulihat bidadari kecil yang sungguh memiliki kedewasaan hati, kini bidadari kecil itu sudah tumbuh besar, lusa bidadari itulah yang akan menapaki umur ketujuh belasnya, menuju gerbang kedewasaannya.
                Adikku sayang, izinkan kakak untuk memberikan kadomu ini lebih awal dari yang seharusnya. Terimakasih atas semua ucapan terimakasihmu yang begitu banyak hari itu, sungguh Kakaklah yang seharusnya mengucapkan seribu ucapan terimakasih padamu. Terimakasih telah hadir dengan semua ketulusanmu, semangatmu, senyumanmu… Terimakasih telah hadir dalam hidupku. Selamat ulang tahun, Cantika Roselia Putri. Aku selalu menyayangimu…”
                Suara tepuk tangan riuh seketika meredam isak tangisku yang sudah tak mampu kutahan lagi. Inikah janji Kak Melisa, aku bahkan sudah tak ingat lagi lusa ulang tahunku, saking pekatnya kesedihan sejak hari duka itu. Didalam hati kugantungkan do’a agar Kak Melisa segera pulih.
***
                “Cantik, ada telpon dari Bunda.” Suara Kak Dinda terdengar serak disampingku.Aku tau Kak Dinda tadi juga terisak pelan disampingku. Acara baru saja selesai beberapa menit yang lalu, Aku dan Kak Dinda memilih untuk menunggu sampai pintu keluar agak sepi.
                “Hallo, Assalamu’alaikum Bunda,” ucapku saat telepon ditempelkan Kak Dinda ditelingaku.
                “Halo, Cantik, udah selesai acaranya?”
                “Sudah Bunda, kenapa Bun?” 

                “Kamu langsung kesini sekarang ya.” DEG! Ada apa ini?

Eyes (Part 4)

2

“Ih, berisik banget ya disini Kak.” Kataku sesampainya ditempat acara resital. Tak ada respon dari Kak Dinda.
                “Helloooow, Kak Dinda, Kakak denger aku nggak sih?” Ujarku lebih keras sambil menggoyangkan bahuku yang dilingkari tangan Kak Dinda.
                “Hah? Kenapa Cantik?” Tanya Kak Dinda.
                “Nggak ada. Udah dimana kita Kak? Kok bising gini sih?” Aku balik bertanya.
                “Kita masih diluar Cantik, kita harus antri dulu buat masuk.” Aku hanya mengangguk, suara Kak Dinda tak begitu jelas terdengar, tenggelam oleh kebisingan tempat ini. Aku juga lebih memilih diam, berjalan pelan-pelan dituntun Kak Dinda.
                “Wah, akhirnya duduk juga.” Ujarku lega sesampainya ditempat dudukku.
                “Eh, Kakak ketoilet bentar ya. Lo duduk disini aja, jangan kemana-mana.”  Aku tak sempat menjawab perkataan Kak Dinda, tangan hangatnya sudah terlebih dulu menghilang dari bahuku. Aku tidak terlalu suka sendirian ditempat asing seperti ini, menakutkan. Aku jarang sekali dilepas Bunda sendirian dimanapun, Bunda khawatir  terjadi hal-hal yang nggak diinginkan padaku. Selama ini, Bunda pasti selalu mendampingiku kemanapun aku pergi, kalaupun Bunda ada urusan lain yang tidak bisa ditinggalkan, Bunda pasti akan meminta kakak, ayah, atau orang lain yang bisa dipercaya untuk mengawasiku.
                Tiba-tiba musik  pembukaan resital dimainkan, diiringi tepuk tangan yang membahana. Kak Dinda kemana? Kok lama banget? Padahal acaranya udah mulai. Pikirku  cemas sambil menggoyang-goyangkan kakiku, kebiasaan burukku kalau merasa tidak nyaman.  Aku bahkan  tak bisa menikmati musik yang terus mengalun merdu, aku takut ditinggal sendirian disini.
                “Lo kenapa sih? Risih banget?” Tiba-tiba kudengar suara berat menegurku dari sampingku, reflek aku menoleh, walau sudah pasti aku tak akan bisa melihat orang yang menegurku barusan.
                “Eh, e… Maaf…” Aku tergagap.
                “Hmm…” Gumamnya. Sepertinya orang itu telah terhanyut kembali dalam alunan musik yang terus berlanjut. Akupun mencoba untuk menenangkan diriku, seraya memastikan bahwa aku tidak melakukan kebiasaan burukku lagi hingga membuat orang lain merasa terganggu.
                Tak lama, seseorang tiba-tiba duduk disampingku. Aku tak dapat mendengar langkahnya, karena terkalahkan oleh suara musik yang membahana.
                “Cantik, maaf ya lama, tadi toiletnya penuh, Kakak mesti ngantri dulu.” Kak Dinda berbisik tepat ditelingaku.  Aku cuma mengangguk, takut mengganggu orang tadi lagi. Rasa khawatir ditinggal Kak Dinda tadipun sirna, sekarang aku bisa konsentrasi mendengarkan orchestra yang tengah dimainkan.
                Kira-kira telah setengah jam berlalu. Sudah beberapa judul lagu dan musik dimainkan, mulai dari musik klasik terkenal, hingga musik-musik yang tak pernah kudengar, juga ada musik yang diambil dari beberapa lagu mulai dari lagu anak-anak, lullaby, lagu pop, dan lainnya. Sejauh ini, aku masih belum mendengar ada yang istimewa. Memang indah, namun masih seperti yang biasa kudengar sebelum-sebelumnya.
                Hampir satu setengah jam berlalu, masih biasa saja. Tiga puluh menit lagi pertunjukan berakhir. Aku mulai merasa bosan, semuanya sama saja seperti pertunjukan yang biasanya kudengar. Apa Kak Melisa bohong? Segera kutepis pikiran buruk itu. Kak Melisa tidak mungkin bohong, Kak Melisa tidak pernah sekalipun bohong kepadaku. Mungkin saja, aku yang kurang teliti mendengarkan, atau memang ada beberapa bagian acara yang telah diganti karena ketidaksertaan Kak Melisa kali ini. Ya, mungkin saja begitu.
                Hening, satu lagu lagi  berakhir. Kudengar suara seorang wanita mengisi ruangan ini melalui pengeras suara. “Selamat malam. Terimakasih atas kehadiran anda. Hari ini, merupakan hari yang sangat istimewa bagi kami, setelah sekian lama berlatih untuk menampilkan yang terbaik dihadapan anda semua. Namun, hari ini tidaklah lengkap karena salah seorang bagian kami tak dapat hadir, inspirator muda kami, sahabat terbaik yang selalu tersenyum tulus menyemangati kami, Melisa Seruni Putri yang sekarang tengah terbaring koma dirumah sakit. Kami selalu mendoakanmu dan merindukan kehadiranmu kembali, sobat. Kami tak akan pernah bisa lengkap disini tanpa kehadiranmu. Melisa, lagu ini, lagu yang selalu kau nanti untuk kau mainkan hari ini, lagu ini lagu yang selalu dengan semangat terus kau latih hingga tak terhitung betapa bosannya kami mendengarkanmu memainkannya saat kita latihan maupun diwaktu senggang, lagu yang sangat ingin kau tunjukkan didepan kami semua hari ini….” Terdengar isakan wanita itu, lalu ia melanjutkan. “Dengarlah Melisa sayang, lagu ini untukmu…”
                Aku terdiam, pikiranku kosong, inikah janji Kak Melisa itu? Nada rendah gesekan biola memecah keheningan, memulai lagu yang akan dimainkan. Aku tak tau siapa yang sedang memainkan biola itu sekarang, sepertinya orang itu akan bermain solo. Belum sampai lima detik kudengar nada-nada itu, akupun tersadar. Lagu itu…

Eyes (part 3)

0

                Masih belum ada perkembangan, begitulah kata dokter saat aku dan bunda baru sampai diruang rawat inap Kak Melisa hari ini. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku mendengar kata-kata itu dari dokter Ilham, dokter yang menangani Kak Melisa. Sudah dua minggu, keadaan Kak Melisa masih belum berubah. Kudengar Bunda menghela nafas. Ini juga bukan  pertama kalinya aku mendengar helaan nafas itu. Aku tau Bunda sudah sangat letih dengan semua ini, harapannya yang tak pernah putus dalam doa-doanya tiap malam masih belum juga terkabul. Kak Melisa masih saja diam ditempat tidurnya.
                “Assalamu’alaikum…” Sapa seseorang yang suaranya sangat kukenal. Terdengar langkahnya mendekatiku lalu tangan hangatnya mengacak-acak rambutku.
                “Wa’alaikumsalam, Kak Dinda…” Jawabku riang.
                “Wa’alaikumsalam… Loh? Nggak pergi gladi resik, nak Dinda? Bukannya nanti malam resital?” Tanya Bunda.
                “Nggak Bun, resital kali ini Dinda cuma jadi penonton aja.  Oh iya, ini Dinda letakin di vas ya Bun.” Terdengar langkah Kak Melisa menjauh dari tempatku dudukku.
                “Pasti bunga krisan lagi.” Ujarku iseng. “Ih, apa bagusnya sih tuh bunga, wangian juga mawar.”
                “Hahaa, dasar lo ya, dari dulu sewoooot mulu’. Kalo Melisa denger bisa-bisa dicubit loh.”
                “Yee, biarin.”
                “Oh gituu, ya udah, nih gue akan dengan senang hati wakilin Melisa nyubit lo.”
                “Eh, peace peace peaceeeee!” Seruku panik saat mendengar langkah cepat Kak Dinda mendekat kearahku. Kudengar Bunda tertawa kecil karena tingkahku dan Kak Dinda. Bahagia sekali rasanya mendengar tawa itu lagi. Sejak kejadian itu, aku jarang sekali mendengar Bunda tertawa. Aku lebih sering mendengar Bunda menghela nafas letih, seperti tadi pagi.
                “Oh iya, kamu nonton resital nanti malam Din?” Tawa Bunda terhenti.
                “Iya Bun, kenapa Bun?” Tanya Kak Dinda.
                “Cantik juga mau nonton, tapi Bunda nggak bisa nemenin disana.”
                “Kalo masalah itu sih gampang Bun, ntar Cantik sama Dinda aja.” Tak ada sedikitpun kudengar nada keberatan dari suara Kak Dinda.
                “Horeee!” Seruku riang.
                “Ntar kalo Cantik nakal Dinda izin cubit ya Bun.”
                “Ih, jahat!” Protesku pura-pura sebal.
                Tawa Bunda terdengar lagi beriringan dengan tawa Kak Dinda. Kak Dinda adalah sahabat Kak Melisa sejak TK dan juga seorang violist seperti Kak Melisa. Dulu Kak Dinda sering dititipkan Om dan Tante Krisna, orangtuanya, dirumahku karena mereka sangat sibuk dengan bisnis mereka. Mereka tidak mau menyewa babysitter karena trauma akibat Kak Dinda yang merupakan anak mereka satu-satunya pernah hampir diculik oleh bekas babysitternya dulu. Bunda yang sejak aku lahir memilih pensiun dini, dengan senang hati menawarkan untuk menjaga Kak Dinda selama orangtuanya bekerja. Itu sebabnya keluarga kami sangat dekat dengan Kak Dinda sampai-sampai Kak Dinda juga memanggil Bunda dengan sebutan “Bunda” bukan “Tante” begitu juga saat memanggil ayah, bukan dengan sebutan “Om”. Bagi Kak Dinda, keluarga kecil kami adalah keluarga keduanya. Dan bagiku, Kak Dinda sama seperti kakak keduaku.
                “Nah loh, bengong!” Suara Kak Dinda mengagetkanku.
                “Eh, eh.. Kenapa?” Tanyaku tergagap.
                “Kan, nggak denger, makanya jangan bengong.” Omel Kak Dinda. Aku hanya tertawa kecil.
                “Tadi Kak Dinda bilang, nanti dia jemput kamu kesini jam 5 sore, sayang.” Ujar Bunda.
                “Oh, OK kak.”
***

                Hari telah beranjak senja, udara terasa dingin. Kak Dinda belum juga datang menjeputku, kata Bunda jalanan macet. Aku tak begitu mengambil pusing, toh acaranya baru akan mulai jam delapan nanti. Jam segini memang biasanya macet, jalanan disesaki oleh bunyi klakson kendaraan pekerja-pekerja kantoran yang letih dan hendak pulang kerumahnya masing-masing secepat mungkin.
                “Cantik, Bunda pergi keruangan Dokter Ilham sebentar ya, kamu duduk disebelah Kak Melisa aja ya. Nanti, kalau kamu dengar ada apa-apa sama Kakak, kamu teriak aja yang keras, panggil dokter atau suster.” Ujar Bunda sembari menuntunku pindah dari sofa yang tengah kududuki ke kursi disebelah tempat tidur Bunda.
                “Kak…” Panggilku saat langkah Bunda telah tak terdengar lagi.
                “Kakak denger nggak tadi? Aku sama Kak Dinda mau pergi ke acara resital nanti malam. Aku bakal nepatin janji aku Kak.” Sejenak aku terdiam. Hening, tak ada respon apa-apa, hanya suara mesin yang entah apa namanya terdengar berbunyi teratur.
                “Awas aja ya Kak, kalau ntar ternyata resitalnya biasa-biasa aja, aku ngambek loh. Kakak harus beliin aku coklat yang banyak biar aku nggak ngambek lagi.” Lanjutku. Suaraku terdengar begitu lirih. Aku bahkan hampir tak bisa mendengar suaraku sendiri. Lagi, tak ada respon. Suara mesin itu masih terus berbunyi teratur mengisi keheningan.
***
                Sekitar jam setengah tujuh,  aku dan Kak Dinda telah siap untuk berangkat. Kak Dinda baru datang jam enam lewat seperempat tadi.  Terlambat satu jam lebih dari waktu yang telah kami sepakati. Setelah Shalat maghrib dulu dirumah sakit, Kak Dinda segera mengajakku berangkat keresital. Kami pun mohon pamit ke Bunda. Bunda berpesan banyaaak sekali kepadaku, jangan nakal, jangan jalan sendirian, jangan sampai terpisah dari Kak Dinda, dan sebagainya. Giliran ke Kak Dinda, Bunda Cuma pesan satu aja, “jaga Cantik  baik-baik ya” gitu kata Bunda.
                “Tenang aja Bunda, ntar kalo Kak Dinda ilang, aku teriak aja keras-keras manggil Kak Dinda. Kalo masih nggak ketemu, aku teriakin aja keras-keras kalo Kak Dinda naksir Bang Dion, pasti Kak Dinda langsung datang deh.” Celetukku usil.
                “Iiiiih, enak aja. Yang ada lo kali yang ilang.” Protes Kak Dinda sambil menjitak kepalaku.
                Setelah selesai berpamitan, dengan dituntun Kak Dinda, aku lalu melangkah keluar rumah sakit dan masuk duduk didalam mobil Kak Dinda yang akan membawa kami ketempat resital nanti.
                “Hai, Non Cantik.” Suara Mas Sugi, sopir pribadi Kak Dinda menyapaku dengan riang.
                “Wah, mas Sugi juga pergi? Nonton resital juga ya Mas?” Jawabku tak kalah riang.
                “Walah, ya ndak toh non. Kalo saya dikasih duit buat nonton juga mending duitnya aku kirim  ke kampung, buat makan anakku toh Non.” Ujar Mas Sugi dengan aksen Jawanya yang medok. “Lagian lagu-lagu kayak gitu bukan selera saya Non, mending juga denger lagu dangdut daripada lagu kayak gitu Non.” Lanjut Mas Sugi, lalu Ia mendendangkan salah satu lagu dangdut yang nggak kukenal.
                “Hahaha… Mas ini, ada-ada aja. Udah ah, jalan yok Mas, bisa satu jam nih nungguin Mas selesai konser disini.” Ujar Kak Dinda
                “Olret Non.”  Jawab Mas Sugi.
                “Allright mas.” Kataku membenarkan.
                “Nah, itu maksud saya Non.” Aku dan Kak Dinda hanya tertawa menanggapi candaan Mas Sugi. Mas Sugi memang supir yang sangat menyenangkan. Selain mengantar kemana-mana, Ia juga bisa menjadi hiburan yang menyenangkan dengan candaan-candaan khasnya. Mobilpun terdengar mulai berjalan perlahan membawaku dan Kak Dinda menuju tempat resital. 

Eyes (part 2)

0

Seketika aku berlari menuju tangga rumah, lupa akan pesan Bunda yang menyuruhku untuk menunggu dibawah. Aku yang telah enam belas tahun hidup dirumah ini sama sekali tidak mendapat kesulitan untuk mencapai tangga dan menaiki anak tangga yang berjumlah tujuh belas itu satu persatu. Sesampainya di atas, Bunda telah selesai menelepon, tapi aku masih bisa mendengar isakan itu, isakan tangis Bunda.
                Tanpa aku tahu, kakiku menyandung sesuatu entah apa, akupun jatuh kelantai. Kudengar suara Bunda tergesa-gesa menghampiriku. “Cantik, kamu nggak pa-pa sayang? Kok kamu keatas?” Ujar Bunda membantuku berdiri.
                “Bunda, bunda kenapa nangis?” Seruku cemas, menghiraukan pertanyaan Bunda. Tiba-tiba Bunda memelukku dan isakan itu terdengar lagi.
                “Ayah… Ayah sama Kak Melisa kecelakaan sayang. Sekarang sedang dirumah sakit.”
                “Astaghfirullah…” Hanya istighfar yang dapat keluar dari bibirku, seketika aku merasa pipiku basah oleh airmata.
                “Kita harus kerumah sakit sekarang sayang. Kak Melisa kritis.”
                “Ayah?” ujarku “Ayah gimana Bun? Ayah baik-baik aja kan?” Senyap, tak ada jawaban. Aku menggoyangkan bahuku, bertanya.
                “Ayah… Ayak udah pergi sayang.” Suara Bunda terdengar lemah ditengah isakan tangisnya. Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Semuanya hilang dari pikiranku. Kosong. Hanya sakit yang terasa begitu menyiksa didada ini.
                Aku dan Bunda segera berangkat menuju rumah sakit. Aku tak tahu apa saja yang terjadi setelah itu, semuanya terasa berjalan begitu cepat. Sementara aku masih terkurung dalam rasa sakit yang membuat pikiran dan hatiku terasa buta seperti mataku.
                Tak terasa limabelas hari berlalu setelah kepergian Ayah. Kak Melisa juga masih dirawat dirumah sakit, kata Dokter masih belum ada perkembangan. Kini pagiku tak indah lagi. Ruang makan ini tak pernah sempurna lagi, tak ada yang menyambutku untuk sarapan pagi bersama. Pagiku kosong, dilubangi perihnya kehilangan.
                Kini juga tak ada lagi jadwal belajar yang menyenangkan setelah sarapan. Setelah sarapan, Aku dan Bunda langsung pergi berangkat kerumah sakit untuk menjaga Kak Melisa. Inilah jadwalku mulai limabelas hari yang lalu. Dirumahsakitpun, aku hanya bisa duduk, menanti, menanti, dan menanti dengan harapan dan do’a. Hanya itu yang bisa kulakukan.
***

                Pagi ini, seperti biasa, aku dan Bunda duduk dimeja makan untuk sarapan pagi. Pagi yang terasa begitu sepi. Aku tak tahu kapan aku akan terbiasa dengan keadaan ini. Disampingku, Bunda dengan sabar menyuapiku roti tawar. Sudah tiga hari aku tidak mau lagi makan roti coklat seperti biasanya. Roti coklatku terasa berbeda tanpa kehadiran Kak Melisa.
                 “Bunda…” Ujarku memecahkan keheningan.
                “Iya, kenapa sayang?” Tanya Bunda lembut.
                “Boleh nggak nanti malam aku keresital biola?” Tanyaku pelan.
                “Ngapain kesana Cantik? Kak Melisa kan nggak ada disana.” Bunda balik bertanya.
                Aku hanya diam, tak tau mesti jawab apa. Ingatanku kembali melayang ke waktu sehari sebelum kecelakaan itu terjadi. Malam itu dingin, aku tengah duduk diteras belakang, mendengarkan Kak Melisa menghasilkan nada-nada indah dari gesekan biolanya.
                “Keren kak…” Ujarku saat Kak Melisa telah berhenti menggesek biolanya.
                “Hahaa, pinter banget deh kamu kalo muji dek.” Kata Kak Melisa sambi mengacak-acak rambutku.
                “Well, itu sih masih belum seberapa dek.”
                “Ih, somboooong.” Candaku pura-pura sebal.
                “Hahahaa. Ih beneran sayaaang. Lagu buat resital besok sih biasa aja. Nah, kalo resital dua minggu lagi baru deh yang spesial lagunya.”
                “Emang kakak mau mainin lagu apa minggu depan?” Tanyaku penasaran.
                “Ada deh, pokoknya kamu harus datang minggu besok.”
                “Iya lagunya apa dulu?” Desakku.
                “Sesuatu deh pokoknyaaa.”
                “Iiiih, kakaaak…” Seruku pura-pura ngambek.
                “ Hahaha, ntar  kamu juga tau dek. Serius ya, pokoknya kamu harus janji datang keresital dua minggu lagi, apapun yang terjadi, kalo nggak, kakak marah nih.” Kata Kak Melisa sambil mencubit pipiku.
                “Iya, iya kakaaak. Aduuuh, sakit tauuuuu…”
                 Serius ya, pokoknya kamu harus janji datang keresital dua minggu lagi apapun yang terjadi, kalo nggak, kakak marah nih. Kata-kata itu, masih jelas terngiang ditelingaku. Aku tak tau mesti bilang apa kebunda, aku tak tau mesti mulai dari mana, dan aku takut Bunda tidak mau ngizinin aku kesana.
                “Ya udah… Ntar malam Bunda anterin kamu keresital, tapi Bunda nggak bisa nemenin kamu disana, nggak pa-pa?” Ucapan Bunda membuyarkan lamunanku.
                “Iya Bunda, nggak papa, makasih Bundaa…” Ujarku sambil tersenyum senang.
                “Iya sayaaang. Udah selesai kan makannya? Kita berangkat yuk?” Tangan Bunda terasa hangat dibahuku, membimbingku keluar rumah dan membantuku naik ke mobil.
 Bersambung.. ;)

Eyes (part 1)

0

                Saat kubuka mata ini, gelap. Tak ada yang bisa kulihat. Aku hanya bisa mendengarkan kicauan indah dari luar jendela, pertanda pagi telah datang. Kata orang, kicauan itu berasal dari hewan yang bernama burung. Aku tak tahu burung itu apa, dari sejak aku datang kedunia ini, aku tak pernah melihatnya. Kata orang, burung itu bisa terbang tinggi diangkasa, aku bahkan tak tahu terbang itu apa, seperti apa rasanya, lebih dari itu, aku bahkan tak tahu angkasa itu seperti apa. Kata orang angkasa itu tinggi, tinggi sekali. Aku bahkan tak mengerti tinggi itu seperti apa, bagiku, tinggi hanya sebatas kepalaku.
                Saat kutolehkan wajahku kesamping, kurasakan hangat yang menerobos jendela kamar. Kata orang, hangat itu berasal dari matahari. Aku tak pernah tahu, matahari seperti apa, darimana asalnya. Kurasakan, semilir angin memainkan rambut panjangku, sejuk. Kata orang, angin tak bisa dilihat. Aku sangat suka angin. Angin membuatku merasa semua orang sama denganku, tak bisa melihat.
                “Bunda?” Tanyaku saat aku mendengar langkah pelan mendekatiku. “Hahaha, percuma Bunda, Bunda nggak akan pernah bisa ngagetin aku.” Ujarku sambil tertawa riang.
                “Yaaah, ketahuan lagi.” Bunda ikut tertawa. Tawa itu terdengar merdu sekali ditelingaku. Aku selalu suka mendengar tawa Bunda.
                “Telingaku kan setajam Kelinci Bunda…” Candaku. Kelinci? Entahlah, aku tak tahu bentuknya seperti apa, kata orang sih telinganya panjang dan pendengarannya tajam.  Dengan keterbatasanku, Tuhan memberiku kelebihan dengan pendengaran yang tajam, seperti kelinci kata Bunda.
                Bunda kembali tertawa dan mengajakku sarapan. Dimeja makan telah menunggu Ayah dan Kak Melisa. Walaupun tak bisa melihat, aku yang telah 16 tahun hidup dirumah ini sudah sangat hafal setiap sudut-sudutnya.
                “Wah kamu udah bangun, Cantik. Ayo sekarang kita sarapan.” Suara berat Ayah menyambut kedatanganku diruang makan.
                Cantik. Itulah namaku. Semua bilang aku sangat cantik. Tapi aku sendiri tak tahu cantik itu seperti apa. Aku bahkan tak pernah tahu wajahku seperti apa. Apakah benar kata mereka? Cantikkah wajahku? Tapi apa gunanya jika aku bahkan tak pernah melihatnya.
                “Kamu mau pake selai apa Cantik?” Tanya Kak Melisa.
                “Coklat Kak.” Jawabku riang. Coklat? Kata orang itu warnanya coklat, aku tak pernah tau wana coklat itu seperti apa, yang aku tahu, coklat itu enak, manis, aku sangat suka coklat. Dengan sabar Kak Melisa menyuapiku sarapan roti coklat kesukaanku. Bukan karena aku buta, tapi karna aku juga tak punya bagian tubuh yang kata orang namanya tangan. Gantinya, Kak Melisa selalu meminjamkan tangannya setiap sarapan untukku.
                Seperti inilah setiap pagiku. Walaupun aku tak bisa melihatnya, tapi aku tahu, aku selalu merasakannya, pagiku begitu indah. Setiap pagi aku tak pernah kesepian, semuanya disini, tak pernah sekalipun kurang satu orangpun. Walaupun aku tahu, Ayah selalu sibuk dengan bisnisnya dan Kak Melisa yang harus masuk kuliah pagi, tapi mereka selalu sempat untuk duduk disini, sarapan bersama denganku dan Bunda.
                Selesai sarapan, Ayah menghampiriku.
                “Cantik, Ayah berangkat dulu. Kamu hati-hati dirumah ya, jaga diri. Dengerin semua kata Bunda. Jangan nakal ya.” Ujar Ayah sambil mencium dahiku.
                “Cantik, Kakak juga berangkat kuliah dulu ya.” Ujar Kak Melisa kepadaku.
                “Eh, janji Kakak kemaren jadi kan?” Tanyaku.
                “Pasti sayang, nanti pulang sekolah Kakak ajak kamu keresital Kakak.” Tangan lembut Kak Melisa terasaa hangat mengacak-acak rambutku. Ayah dan Kak Melisa pun berpamitan dengan Bunda. Tak lama kemudian kudengar suara mobil ayah beranjak meninggalkan rumah membawa ayah dan Kak Melisa.
                Sementara aku masih disini, duduk menunggui Bunda membereskan ruang makan. Suara keran air terdengar disisi kiri belakangku, tempat Bunda sibuk mencuci piring. Andai saja aku punya tangan, pasti aku juga sekarang ada disana, membantu Bunda. Tapi, semua itu hanyalah angan-anganku saja. Aku tak akan pernah bisa membantu Bunda mencuci piring dengan keterbatasanku ini. Walaupun begitu, aku tak pernah menyesal terlahir seperti ini. Bunda selalu mengajarkan aku bahwa kita harus bersyukur atas segala sesuatu yang telah diberi Allah untuk kita. Kata Bunda, hidup yang diberikan Allah itu selalu indah, bila kita bersyukur. Dan aku selalu percaya itu.
                “Udah selesai nyucinya Bunda?” Tanyaku saat bunyi keran air tehenti.
                “Sudah sayang. Ayo kita belajar sekarang.” Ujar Bunda sambil menyentuh bahuku.
Akupun berjalan mengikuti Bunda keruang tengah, tempat aku biasa belajar bersama Bunda. Dulu, Bunda adalah seorang dosen di universitas yang ternama dikota ini. Kata orang, Bunda sangat pintar, menguasai semua bidang. Tapi, sejak aku lahir, Bunda memilih untuk pensiun dini. Bunda memilih untuk mengurusku dirumah. Dan tiap hari, inilah kegiatanku dan Bunda, belajar.
                Kata orang, aku mewarisi bakat Bunda, kepintarannya. Walaupun aku tak pernah masuk disekolah formal, namun pengetahuanku setara dengan anak-anak yang seusia denganku. Bunda selalu mengajariku setiap hari, mulai dari bahasa inggris, sejarah, matematika, fisika, biologi, kimia, dan hal lainnya. Aku sangat suka belajar dengan bunda, amat menyenangkan rasanya.
                Hari ini, aku dan Bunda belajar kimia. Bunda sedang menjelaskan tentang sistem koloid kepadaku saat sayup-sayup aku mendengar nada dering telepon genggam Bunda.
                “Bunda, HP bunda bunyi tuh, ada yang nelpon deh kayaknya.” Kataku memotong penjelasan Bunda.
                “Iya ya? Bunda angkat telpon bentar ya sayang. Kamu tunggu disini aja.” Kudengar langkah Bunda menjauh menaiki tangga menuju lantai dua. Aku mendengar sayup-sayup suara Bunda yang sedang berbicara serius ditelepon. Suara Bunda terdengar begitu cemas. Sayup-sayup kudengar bunda menangis. Bunda menangis! Ada apa ini? 

bersambung... ;)

I Love Mom

0

7Well, this day is mothers day.. :D
Happy mothers day to all mom in the world, especially to my mom, You are my everything.
I can't be here without you.
You just someone who always know everythings that I need..
You just someone who always forgive all about me..
You, who always love me wholeheartedly..
who always teach me everything..
who will always smile when I feel happy..
who never want to hurt me..
who always give the best for me..
From you, I get the best love..
I Love You, Mom.. :')

I know, I will never can pay off all that you give to me..
This just a little thing that I can give you, Mom..

SURGA DI TELAPAK KAKIMU
(by: Gita Gutawa)
Kunyanyikan sebuah lagu
Untukmu Ibu
sebagai wujud terimakasih
Ku kepadamu
Tanpa lelah kau berjuang
Membesarkanku
Berikan yang terbaik untukku

Izinkanlah tanganmu kucium

Dan kubersujud dipangkuanmu
Temukan kedamaian
Dihangat pelukmu

Didalam hati kuyakin

Serta percaya
ada kekuatan doa yang engkau titipkan
Lewat Tuhan membuat
Semangat bila diri ini rapuh
Dan tiada berdaya

Ada surga di telapak kakimu

Betapa besar arti dirimu
Buka pintu maafmu
Saat kulukai hatimu

Ada surga di telapak kakimu

Lambangkan mulianya dirimu
Hanya lewat restumu
Terbuka pintu ke surga

Kasih sayangmu begitu tulus

Kau cahaya dihidupku
Tiada seorang pun yang dapat menggantimu

Ada surga di telapak kakimu

Betapa besar arti dirimu
Buka pintu maafmu
Saat kulukai hatimu

Ada surga di telapak kakimu

Lambangkan mulianya dirimu
Hanya lewat restumu
Terbuka pintu ke surga

Hanya lewat restumu
Terbuka pintu ke surga 
Love You so much Mom.. :')
Happy mother's day All.. :D

Demi Lovato - LA LA LAND

0

I am confident, but I still have my moments
Baby, that's just me
I'm not a supermodel, I still eat McDonald's
Baby, that's just me

Well, some may say I need to be afraid
Of losing everything, because of where I
Had my start and where I made my name
Well, everything's the same in the La La Land machine
Machine, machine

Who said I can't wear my Converse with my dress?
Well baby, that's just me
Who said I can't be single and have to go out and mingle
Baby, that's not me, no, no

Well, some may say I need to be afraid
Of losing everything, because of where I
Had my start and where I made my name
Well, everything's the same in the La La Land

Tell me do you feel the way I feel
'Cause nothing else is real in the La La Land appeal

Well, some may say I need to be afraid
Of losing everything, because of where I
Had my start and where I made my name
Well, everything's the same in the La La Land machine
Well, I'm not gonna change in the La La Land machine
I will stay the same in the La La Land
Machine, machine, machine

I won't change anything in my life
(I won't change anything in my life)
I'm staying myself tonight
(I'm staying myself tonight)


Just be yourself whoever you are.. :)

 

clover Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review