Masih belum ada perkembangan, begitulah kata dokter saat aku dan bunda baru sampai diruang rawat inap Kak Melisa hari ini. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku mendengar kata-kata itu dari dokter Ilham, dokter yang menangani Kak Melisa. Sudah dua minggu, keadaan Kak Melisa masih belum berubah. Kudengar Bunda menghela nafas. Ini juga bukan pertama kalinya aku mendengar helaan nafas itu. Aku tau Bunda sudah sangat letih dengan semua ini, harapannya yang tak pernah putus dalam doa-doanya tiap malam masih belum juga terkabul. Kak Melisa masih saja diam ditempat tidurnya.
“Assalamu’alaikum…” Sapa seseorang yang suaranya sangat kukenal. Terdengar langkahnya mendekatiku lalu tangan hangatnya mengacak-acak rambutku.
“Wa’alaikumsalam, Kak Dinda…” Jawabku riang.
“Wa’alaikumsalam… Loh? Nggak pergi gladi resik, nak Dinda? Bukannya nanti malam resital?” Tanya Bunda.
“Nggak Bun, resital kali ini Dinda cuma jadi penonton aja. Oh iya, ini Dinda letakin di vas ya Bun.” Terdengar langkah Kak Melisa menjauh dari tempatku dudukku.
“Pasti bunga krisan lagi.” Ujarku iseng. “Ih, apa bagusnya sih tuh bunga, wangian juga mawar.”
“Hahaa, dasar lo ya, dari dulu sewoooot mulu’. Kalo Melisa denger bisa-bisa dicubit loh.”
“Yee, biarin.”
“Oh gituu, ya udah, nih gue akan dengan senang hati wakilin Melisa nyubit lo.”
“Eh, peace peace peaceeeee!” Seruku panik saat mendengar langkah cepat Kak Dinda mendekat kearahku. Kudengar Bunda tertawa kecil karena tingkahku dan Kak Dinda. Bahagia sekali rasanya mendengar tawa itu lagi. Sejak kejadian itu, aku jarang sekali mendengar Bunda tertawa. Aku lebih sering mendengar Bunda menghela nafas letih, seperti tadi pagi.
“Oh iya, kamu nonton resital nanti malam Din?” Tawa Bunda terhenti.
“Iya Bun, kenapa Bun?” Tanya Kak Dinda.
“Cantik juga mau nonton, tapi Bunda nggak bisa nemenin disana.”
“Kalo masalah itu sih gampang Bun, ntar Cantik sama Dinda aja.” Tak ada sedikitpun kudengar nada keberatan dari suara Kak Dinda.
“Horeee!” Seruku riang.
“Ntar kalo Cantik nakal Dinda izin cubit ya Bun.”
“Ih, jahat!” Protesku pura-pura sebal.
Tawa Bunda terdengar lagi beriringan dengan tawa Kak Dinda. Kak Dinda adalah sahabat Kak Melisa sejak TK dan juga seorang violist seperti Kak Melisa. Dulu Kak Dinda sering dititipkan Om dan Tante Krisna, orangtuanya, dirumahku karena mereka sangat sibuk dengan bisnis mereka. Mereka tidak mau menyewa babysitter karena trauma akibat Kak Dinda yang merupakan anak mereka satu-satunya pernah hampir diculik oleh bekas babysitternya dulu. Bunda yang sejak aku lahir memilih pensiun dini, dengan senang hati menawarkan untuk menjaga Kak Dinda selama orangtuanya bekerja. Itu sebabnya keluarga kami sangat dekat dengan Kak Dinda sampai-sampai Kak Dinda juga memanggil Bunda dengan sebutan “Bunda” bukan “Tante” begitu juga saat memanggil ayah, bukan dengan sebutan “Om”. Bagi Kak Dinda, keluarga kecil kami adalah keluarga keduanya. Dan bagiku, Kak Dinda sama seperti kakak keduaku.
“Nah loh, bengong!” Suara Kak Dinda mengagetkanku.
“Eh, eh.. Kenapa?” Tanyaku tergagap.
“Kan, nggak denger, makanya jangan bengong.” Omel Kak Dinda. Aku hanya tertawa kecil.
“Tadi Kak Dinda bilang, nanti dia jemput kamu kesini jam 5 sore, sayang.” Ujar Bunda.
“Oh, OK kak.”
***
Hari telah beranjak senja, udara terasa dingin. Kak Dinda belum juga datang menjeputku, kata Bunda jalanan macet. Aku tak begitu mengambil pusing, toh acaranya baru akan mulai jam delapan nanti. Jam segini memang biasanya macet, jalanan disesaki oleh bunyi klakson kendaraan pekerja-pekerja kantoran yang letih dan hendak pulang kerumahnya masing-masing secepat mungkin.
“Cantik, Bunda pergi keruangan Dokter Ilham sebentar ya, kamu duduk disebelah Kak Melisa aja ya. Nanti, kalau kamu dengar ada apa-apa sama Kakak, kamu teriak aja yang keras, panggil dokter atau suster.” Ujar Bunda sembari menuntunku pindah dari sofa yang tengah kududuki ke kursi disebelah tempat tidur Bunda.
“Kak…” Panggilku saat langkah Bunda telah tak terdengar lagi.
“Kakak denger nggak tadi? Aku sama Kak Dinda mau pergi ke acara resital nanti malam. Aku bakal nepatin janji aku Kak.” Sejenak aku terdiam. Hening, tak ada respon apa-apa, hanya suara mesin yang entah apa namanya terdengar berbunyi teratur.
“Awas aja ya Kak, kalau ntar ternyata resitalnya biasa-biasa aja, aku ngambek loh. Kakak harus beliin aku coklat yang banyak biar aku nggak ngambek lagi.” Lanjutku. Suaraku terdengar begitu lirih. Aku bahkan hampir tak bisa mendengar suaraku sendiri. Lagi, tak ada respon. Suara mesin itu masih terus berbunyi teratur mengisi keheningan.
***
Sekitar jam setengah tujuh, aku dan Kak Dinda telah siap untuk berangkat. Kak Dinda baru datang jam enam lewat seperempat tadi. Terlambat satu jam lebih dari waktu yang telah kami sepakati. Setelah Shalat maghrib dulu dirumah sakit, Kak Dinda segera mengajakku berangkat keresital. Kami pun mohon pamit ke Bunda. Bunda berpesan banyaaak sekali kepadaku, jangan nakal, jangan jalan sendirian, jangan sampai terpisah dari Kak Dinda, dan sebagainya. Giliran ke Kak Dinda, Bunda Cuma pesan satu aja, “jaga Cantik baik-baik ya” gitu kata Bunda.
“Tenang aja Bunda, ntar kalo Kak Dinda ilang, aku teriak aja keras-keras manggil Kak Dinda. Kalo masih nggak ketemu, aku teriakin aja keras-keras kalo Kak Dinda naksir Bang Dion, pasti Kak Dinda langsung datang deh.” Celetukku usil.
“Iiiiih, enak aja. Yang ada lo kali yang ilang.” Protes Kak Dinda sambil menjitak kepalaku.
Setelah selesai berpamitan, dengan dituntun Kak Dinda, aku lalu melangkah keluar rumah sakit dan masuk duduk didalam mobil Kak Dinda yang akan membawa kami ketempat resital nanti.
“Hai, Non Cantik.” Suara Mas Sugi, sopir pribadi Kak Dinda menyapaku dengan riang.
“Wah, mas Sugi juga pergi? Nonton resital juga ya Mas?” Jawabku tak kalah riang.
“Walah, ya ndak toh non. Kalo saya dikasih duit buat nonton juga mending duitnya aku kirim ke kampung, buat makan anakku toh Non.” Ujar Mas Sugi dengan aksen Jawanya yang medok. “Lagian lagu-lagu kayak gitu bukan selera saya Non, mending juga denger lagu dangdut daripada lagu kayak gitu Non.” Lanjut Mas Sugi, lalu Ia mendendangkan salah satu lagu dangdut yang nggak kukenal.
“Hahaha… Mas ini, ada-ada aja. Udah ah, jalan yok Mas, bisa satu jam nih nungguin Mas selesai konser disini.” Ujar Kak Dinda
“Olret Non.” Jawab Mas Sugi.
“Allright mas.” Kataku membenarkan.
“Nah, itu maksud saya Non.” Aku dan Kak Dinda hanya tertawa menanggapi candaan Mas Sugi. Mas Sugi memang supir yang sangat menyenangkan. Selain mengantar kemana-mana, Ia juga bisa menjadi hiburan yang menyenangkan dengan candaan-candaan khasnya. Mobilpun terdengar mulai berjalan perlahan membawaku dan Kak Dinda menuju tempat resital.